Kupandangi kursi yang kosong itu. Kursi yang seharusnya kaududuki saat makan malam atau makan pagi. Kursi makan yang kita pilih bersama corak dan modelnya--bersama meja makannya. Kupandangi sekali lagi, kursi dari kayu cokelat tua itu bersama meja yang juga dari kayu dengan lapisan kaca di atasnya, kesukaan kita bersama. Mendesah dan sedikit gelisah, karena kita terlanjur jarang bicara. Kursi tetaplah kursi, kursi kosong yang melambangkan kehampaan hati kita yang tinggal di dalamnya. Rumah ini bukanlah ‘rumah’, tanpa kasih yang menyatukan kita…
Kondisi lengang itu semakin kurasakan beberapa tahun yang lalu, ketika kita semakin terpisahkan jauh. Kita yang sama-sama normal secara tes kesehatan tak mampu juga memiliki anak. Empat tahun usaha punya anak, bukan waktu yang singkat. Seluruh usaha yang bisa dilakukan, sudah dikerjakan. Ke dokter, ke sinshe, berdoa. Usaha dan doa. Entah apa lagi yang kurang? Kau seolah mulai bosan melakukan pengobatan ini dan itu, karena hasilnya nihil. Upaya berserah agaknya kaulakukan secara ‘extreme’, menghasilkan sikapmu yang tak peduli dan acuh tak acuh. Ini merembet kepadaku, kepada hubungan kita, kepada cinta kita. Kekosongan dan kehampaan meliputiku. Aku juga bukannya tak mau, bahkan aku sama sepertimu. Aku amat ingin juga punya buah hati! Aku ingin ramainya suara anak kita memenuhi rumah ini. Bukan hanya teriakan-teriakan kita yang menunjukkan seolah cinta benar-benar sudah meluap entah ke mana.
Enam bulan yang lalu.
Aku memberikan kabar gembira padamu. Aku hamil, Mas! Begitu kataku.
Katamu: benarkah? Kau pun begitu gembira. Kutangkap pijar bahagia itu di matamu. Akhirnya, setelah menunggu lama, kabar baik itu datang juga. Aku dan kau saling berpelukan, tenggelam dalam kebahagiaan tiada
Tapi sayangnya bahagia itu tak bertahan lama karena hanya dua bulan jabang bayi itu bertahan dalam kandunganku. Setelah itu ia gugur. Aku berteriak, menangis, tak terima. Setelah menunggu total sepuluh tahun dalam perkawinan kita, haruskah berakhir kecewa begini?
Kamar yang seharusnya kita isi dengan ranjang bayi dan pernak-perniknya…. Kamar yang seharusnya akan jadi ramai dengan tangisan bayi kita, jadi lengang dan sunyi lagi. Kamar ini isinya hanya kesedihan kita. Sebagai saksi bisu hati kita yang semakin terpisah jauh. Kejadian demi kejadian ini bukannya menguatkan kita, malahan memisahkan kita lebih jauh lagi.
Rumah ini semakin lengang. Tak lagi kudengar langkah sepatumu di waktu malam saat kau pulang kerja. Tak lagi ada senyuman yang kusunggingkan ketika membukakan pintu sesaat kau memencet bel. Disusul suguhan segelas air es kesukaanmu ketika kaududuk di sofa di ruang tamu. Semuanya tak ada. Apakah rumah ini masih berarti bagi kita untuk kita diami? Ketika kau sudah putuskan untuk melangkah pergi untuk selamanya karena tak kuat akan cobaan ini.
Kursi, kamar, sofa, dapur, kulkas, semuanya hening. Dalam diam seolah mengheningkan cipta atas luruhnya cinta kita.
Sayang, akankah cinta itu kembali seperti sedia kala?
Harap itu masih ada, tak pernah mati di dadaku. Walaupun aku kecewa. Kecewa luar biasa. Aku masih terus berdoa, semoga suatu saat kau kembali singgah di rumah ini dan memenuhi setiap sudutnya—sama seperti setiap sudut hatiku dengan cinta. Sementara lagu itu terus kuputar di kamar kita dengan lembut—tanpa henti, mengiringi kepedihan yang kurasakan…
A chair is still a chair
Even when there's no one sitting there
But a chair is not a house and a house is not a home When there's no one there To hold you tight and no one there You can kiss good night
A room is still a room
Even when there's nothing there but gloom
But a room is not a house and a house is not a home When the two of us are far apart And one of us has a broken heart
Air mata menetes di kedua belah pipiku. Lautan kesedihan tak bertepi. Berharap, ya hanya berharap, suatu saat kau akan kembali.
HCMC, 5 Juni 2010
-fon-
* inspirasi dari lagu ‘A House Is Not a Home’ yang dinyanyikan kembali dalam serial Glee oleh Chris Colfer dan Cory Monteith
No comments:
Post a Comment