*** Episode: Pilu
Previously on Thank God I Found You 8 (Episode: Rencana Tinggal Rencana…)
Willem dan Susi akhirnya harus berpisah. Entah untuk berapa lama. Susi berangkat lagi ke Singapura dan meninggalkan Willem yang mematung sendu. Willem tak sanggup menahan depresinya dan minum pil penenangnya- jatah dua minggu ditenggaknya sekaligus. Joko yang menemukan kedamaian di biara di Bandung, memutuskan untuk mengabdikan dirinya di
Episode: Pilu
Mama Willem menelepon Pak Sopir.
“Pak, ada di mana? Saya perlu pakai mobil segera. Mobil saya dipakai Bapak untuk urusan bisnis, sementara mobil yang satunya masuk bengkel mendadak. Bapak bisa pulang sekarang? Willem di mana?” Tanya Mama Willem beruntun.
“ Saya, eh…anu, Bu… Di apartemen di Kuningan. Tuan Willem masih di atas. Sudah sekitar empat jam saya tunggu, belum turun-turun juga. Ibu tidak coba telepon handphone-nya Tuan Willem?” Penjelasan dari Pak Sopir langsung dijawab oleh ibu Willem
“ Saya sudah coba, Pak. Tak ada jawaban. Coba Bapak naik sebentar dan beri tahu Willem, ya. Saya tunggu, sepuluh menit lagi saya telepon kembali.” Ujar Mama Willem.
Pak Sopir keluar dari mobilnya dan minta izin satpam untuk mengunjungi unit keluarga Willem di
Lantai 28. Unit 2808.
Pintu tidak dikunci. Perlahan, Pak Sopir masuk ke ruang tamu. Di sofa di ruang tamu, Willem tertidur dengan mulut berbusa. Badan setengah membiru. Nafas? Hampir tak ada. Pak Sopir segera berteriak
“ Ya, Allah!”
Bersamaan dengan itu, diangkatnya teleponnya yang berdering. Dari Mama Willem.
“ I…I…Ibu… Tuan Willem pingsan. Eh, mati. Eh, pingsan di apartemen. Badannya biru, mulut berbusa. Saya harus bagaimana, Ibu?”
“ Aaapppaaaa??? Willem pingsan? Atau mati? Kamu lekas lapor satpam, beri tahu kejadian ini dan biar mereka yang mengurus. Segera bawa ke rumah sakit terdekat. Saya segera ke
Segera, para Satpam pun diberi tahu. Dibantu oleh kantor manajemen apartemen ini, Willem segera diantar ke Rumah Sakit bersama Pak Sopir juga. Willem dibawa ke Medistra. Masih dalam kondisi yang tak menentu, Pak Sopir menelepon Mama Willem.
“ Bu…Ibu langsung ke Rumah Sakit Medistra saja. Kami lagi ke
“ Baiklah. Saya masih di taksi.” Ujar Mama Willem lemas.
“Willem, Willem.
***
Rumah Sakit Advent,
Kubuka mataku perlahan. Kepalaku diperban. Masih pusing berat, tapi rupanya aku masih hidup. Ini Rumah Sakit, ‘
Kulihat Jason tengah berbicara dengan dokter di depan ruang kaca yang membatasi kami. Tak mampu kudengar percakapan mereka. Kupegang kembali kepalaku yang masih pusing. Entah sudah berapa lama aku di sini, entah bagaimana caranya aku sampai di tempat ini. Yang kuingat hanyalah percakapan terakhirku dengan Jason agar dia memberitahukan orang rumahku soal kejadian ini. Tiba-tiba aku teringat: Santi! Bagaimana kabarmu, San? Apa kau selamat?
Tak lama Jason membuka pintu kamarku. Aku sendirian di kamar ini. Melihat aku yang terbangun, dia berseru bahagia:
“ Aduh, Vit! Sudah bikin aku kuatir berhari-hari! Ending-nya pake kecelakaan lagi. Untung kamu gak apa-apa. Kata dokter cuma cedera ringan. Hanya memang kamu sempat pingsa. Senang kamu sudah sadar, Sayang!” Ujarnya bahagia seraya mengusap-ngusap bahuku lembut.
“ Jason, Santi gimana?” Tanyaku pelan.
“ Hmmm, Santi…Masih agak parah, Vit. Dia masih di ICU, belum sadarkan diri.
Air mataku menetes. Duh, Santi…Mengapa jadi begini???
“ Vino, Mama dan Papamu dalam perjalanan. Mereka akan sampai sekitar setengah jam lagi. Tadi aku langsung berangkat, sementara mereka masih menunggu Papamu yang tengah main tennis untuk pulang ke rumah.” Jelas Jason lagi.
“ Besok kamu bisa keluar Rumah Sakit kata dokter. Mungkin orang tuamu akan langsung membawamu pulang.” Kata Jason.
“ Aku, ah…Santi gimana dong kalau aku pulang? Kasihan ‘
“Santi harus operasi, Vit. Mungkin makan waktu cukup lama. Lebih baik kamu ‘recover’ di Jakarta baru nanti kita coba datang ke sini lagi pas weekend.” Kata Jason.
“ Ah, kasihan Santi. Aku mau menungguinya. Bolehkah?” Pertanyaanku agak memelas. Namun, aku sungguh kuatir akan kondisi Santi.
“ Itu kamu diskusikan dengan keluargamu juga, Vit. Mereka yang mau bawa kamu pulang. Aku sih terserah kalian saja. Karena aku pikir di
Tak lama kemudian, Mama dan Papaku datang. Vino menyusul karena memarkir mobil terlebih dahulu.
“ Aduh, Vitaaaa… Ke mana aja? Bikin Mama kuatir saja. Lagian pake kecelakaan lagi! Untung gak apa-apa….” Mama langsung berkicau menyambutku.
Papa hanya tersenyum, memegang tanganku. Dan Vino? Oh, dia masih berusaha mengacaukan rambutku seperti biasanya, itu hal yang selalu dia lakukan. Walaupun kepalaku diperban dan dia hanya pura-pura. Aku menikmati kasihnya sebagai adikku. Aku sayang keluargaku. Walaupun aku pernah kecewa, tapi biar bagaimana pun they’re my family!
Mama dan Papa bersikeras membawaku pulang besok. Walaupun kujelaskan kondisi Santi kepada mereka, mereka tetap minta aku pulang ke
Tuhan, semoga Santi gak apa-apa. Lindungilah sobatku itu, ya Tuhan!
***
Senin siang pukul 12.30.
Sesaat sesudah makan siang yang tak masuk banyak ke perutku. Aku masih belum bisa makan enak, terlebih memikirkan operasi Santi yang tengah berjalan. Aku sibuk berdoa. Akhirnya kupilih doa yang berserah:
” Berikan yang terbaik di mata-Mu bagi Santi sobatku, Tuhan. Amin.”
Aku berjalan perlahan menuju ruang operasi. Di situ sudah ada Oom dan Tante, orang tua dari sahabatku, Santi. Mereka menanti dengan cemas. Sambil sesekali memandangi lampu di kamar operasi yang masih menyala, pertanda operasi masih berlangsung.
Aku menyapa mereka. Menyalami mereka, berharap bisa saling membagikan damai yang tiba-tiba sulit dicari hari ini. Entah sembunyi di pelosok hati yang mana dirinya saat ini?
Tak lama, pintu kamar operasi dibuka. Dokter keluar masih dengan pakaian operasinya dan memberitahukan hasilnya kepada kami semua. Aku di situ ditemani Jason saja, sementara keluargaku makan siang di kantin rumah sakit.
“ Maaf, Bapak dan Ibu. Kami sudah berusaha yang terbaik, namun nyawa anak Bapak dan Ibu tak bisa diselamatkan. Operasi tidak berjalan lancar, Santi sudah meninggal.” Katanya perlahan.
Mama Santi berteriak histeris. Papanya hanya diam dengan tetesan air mata yang memenuhi kedua belah pipinya. Aku termenung. Diam. Tenggelam dalam tangisan yang tak keluar suara. Aku sangat sedih. Pilu rasanya hati ini. Kehilangan seorang sahabat sejati seperti yang ada di diri Santi, entah dalam hidup ini akankah kutemukan kembali. Dalam helaan nafasku, dalam upaya mengeringkan air mata dengan tissue, aku hanya berdoa kembali dalam hati:
“ Jika ini yang terbaik menurut-Mu, ambillah dia, terimalah dia dalam dekapan kasih-Mu. Untuk bersatu dengan-Mu dalam keabadian untuk selamanya. Di mana tiada lagi duka baginya, Tuhan. Perjalanan hidupnya sudah selesai.”
Usai kudoakan Santi, kembali air mata membanjiri pipiku. Kali ini aku mulai sesenggukan, membutuhkan bahu Jason untuk kutangisi. ‘His shoulder to cry on.’ Jika memang harus berpisah dengan cara seperti ini, aku mau tidak mau harus terima, walaupun aku tak suka. Walaupun masih banyak yang ingin kuperbincangkan, kuutarakan, masih banyak perjalanan ke biara yang sudah kami rencanakan. Tuhan, mengapa hati ini masih amattt pilu??? Jerit batinku…
***
Susi baru tiba di Singapura.
Aroma udara yang khas setiap kali dia menjejakkan kakinya di Changi Airport langsung menyambutnya. Ketika menunggu bagasi, handphonenya berbunyi.
Willem? Mau apa dia? Segitu kangennya kah pada Susi sampai tak bisa menahan diri satu setengah jam saja???
“ Maaf, ini Susi?” Tanya suara ibu-ibu di seberang
“ Iya, betul. Siapa Anda? Mengapa pakai nomor Willem?” Tanya Susi.
“ Saya Mamanya Willem. Willem sekarang di RS. Medistra, keracunan obat. Dia mau bunuh diri. Dia makan obat yang seharusnya jatah untuk dua minggu dalam sekali teguk. Nomor Susi ada di handphonenya. Juga dia tinggalkan sepucuk
“ Maaf, Tante. Saya tidak menyangka Willem sampai sebodoh itu. Saya suka Willem, Tante. Untuk cinta? Belum sampai segila dia kepada saya. Saya baru sampai Singapura. Tak mungkin saya langsung pulang begitu saja. Besok saya telepon Tante dan melihat perkembangannya. Kalau perlu, saya pulang ke
Setelah menutup pembicaraan dengan Mama Willem, tiba-tiba ada perasaan yang aneh mengaliri dadanya. Dia sangat gelisah. Dia menyesal meninggalkan Willem. Dia tak pernah menyangka cinta Willem begitu besar pada dirinya. Dalam bimbangnya, dalam kebingungannya, dia naik taksi menuju apartemen orang tuanya di Grange Road, tak jauh dari
“Willem, aku mulai merasakan cintaku kepadamu. Kamu harus bertahan demi aku.” Bisik Susi pelan. Diambilnya telepon genggamnya, menghubungkan dirinya ke Mama Willem.
“ Tante, besok saya pulang ke
“ Willem, I’m coming…” Bisiknya pelan.
Bersambung…
HCMC, 01-02 Juni 2010
-fon-
No comments:
Post a Comment