Chapters of Life, begitu saya senang menyebutnya. Karena bagi saya, hidup adalah babak demi babak, bab demi bab, yang menjadikan buku kehidupan saya sempurna.
Wednesday, September 16, 2009
Arranged Marriages (Nikah Pun Diatur...)
Hari ini, ada makan siang bersama para mommy teman sekolah anakku. Tiga orang dari teman sekolah Audrey adalah orang India. Obrol punya obrol, dari tiga orang yang lunch bareng tadi, ternyata 2 orang nikahnya diatur oleh keluarga. Mereka bahkan tidak pernah bertemu sebelumnya dengan calon suami mereka. Yang mereka temui hanyalah camer alias calon mertua. Setelah sudah OK semuanya, langsung mereka melenggang ke pernikahan. Aneh tapi nyata. Buat kita yang tinggal di Indonesia atau di bagian negara lain yang menjunjung tinggi kebebasan, mungkin kita jarang mendengar hal ini. Walaupun di negara seperti Indonesia juga ada pernikahan yang diatur oleh pihak keluarga, tetapi saya kira itu tidak terlalu mendominasi. Untuk kalangan tertentu yang masih ingin mempertahankan tradisi, kekayaan keluarga, atau alasan lainnya, mungkin sekali mengatur pernikahan anaknya. Namun, untuk kalangan yang biasa dan normal, saya kira, banyak juga yang melewati masa perkenalan-pacaran-lalu menikah.
The concept of arranged marriage may sound impractical to the Western world, but in India, it is a usual norm. No matter how westernized India may have become, arranged marriages are still viewed as the most preferred choice in the Indian families. This kind of marriage has its roots laid to the time, when the ritual of child marriage prevailed in the country. Child marriage was essentially performed, so as to restrict the children from marrying outside their community and social status. The practice was essentially a way of uniting and maintaining the difference between the rich upper class society and the poor lower class society. This practice of caste system gave rise to the concept of arranged marriages. (http://weddings.iloveindia.com/features/arranged-marriages.html)
Dari satu website tentang India, saya mencuplik sebagian informasi di dalamnya. Di situ dikatakan bahwa walaupun konsep pernikahan yang diatur tampaknya terkesan tidak praktis bagi dunia Barat, di India itu adalah norma yang biasa. Tak peduli seorang India menjadi begitu kebarat-baratan, perkawinan yang diatur keluarga masih dianggap sebagai pilihan terbaik di sana. Praktek ini penting sebagai sarana penyatuan dan pemeliharaan perbedaan golongan atas dan golongan bawah. Juga, jangan lupa, di India juga memiliki praktek kasta yang masih amat kuat, sehingga membuat pernikahan yang ditentukan oleh keluarga ini menjadi pilihan yang tampaknya tepat.
Dari dua teman saya yang mengalami arraged marriages, dua-duanya tak pernah bertemu sang suami sebelumnya. Ada baik, ada jeleknya. Saya hanya membayangkan dalam kondisi normal, saya tak pernah bertemu sebelumnya dengan calon suami, tiba-tiba di malam pengantin yang muncul wajah yang mengerikan, gimana ya? Wah, mungkin itu sudah konsekuensinya. Mungkin juga mereka tidak buta-buta amat sih, mungkin mereka melihat foto calon suami, atau melihat dari jauh, tapi yang pasti tak ada fase pacaran, pegangan tangan, apalagi cupika cupiki…
Ketika di malam pengantin harus melakukan hubungan suami istri dengan seorang ‘stranger’ bagaimana ya rasanya? Maksud saya, bagi sebagian banyak wanita, perlunya ‘connection’ dulu sebelum melakukan hal itu. Kalau tak pernah bertemu, tak ada connection, bagaimana bisa?
Tapi, itulah mungkin perbedaan antarbudaya. Saya tak mampu menyelami 100 persen yang teman-teman saya alami. Dan yang salut bagi saya, mereka tetap setia. Setia dalam pernikahan apa pun yang terjadi. Sempat saya menanyakan, bagaimana kalau tiba-tiba saja sang suami adalah seorang ‘tukang pukul’ yang ringan tangan menggebuk istrinya. Apakah tinggal dengan ‘abusive husband’ macam ini masih harus bertahan pula?
Kata mereka, most probably: YES.
Aduuuhhh, kasihan sekali…! * sigh*
Teman-teman saya masih muda. Yang satu bahkan menikah di usia 22 tahun, sekarang dia hamil anak ke-2 di usia 25 tahun. Menikah dengan seorang yang ‘totally stranger’, betul-betul orang asing, dan harus setia… Tidak mudah. Sementara zaman sudah bertambah canggih, orang kawin cerai pun gampang, ini adalah suatu hal yang amat patut diacungi jempol, walaupun sisi sedihnya tak ada lagi hak asasi soal kebebasan berpendapat. Kalau saya pribadi bisa berkata, “ Hei, ini kan urusan seumur hidup. Kalau saya tidak suka, bagaimana saya bisa bertahan?”
Tapi, teman saya hanya menerima dan pasrah. Terhadap norma, tradisi, dan keluarga… Salut..Walaupun di satu sisi, hati saya ngenes juga ya.. Kasihan juga, bahwa untuk menikah pun mereka tak bisa bebas memilih pasangannya…
Satu teman kami, sebut saja si I. Si I ini asal West India, bertemu dengan suaminya saat bekerja. Suami asal East India. Dan East meets West ini tidak mudah juga, mereka harus berjuang mengatasi banyak perbedaan. Tradisi, kasta, dan penolakan keluarga. Butuh 8 tahun, untuk menerima teman saya agar akhirnya bisa dinikahi sang suami. Ini anggaplah kasus langka, karena menurut mereka, yang arranged marriage itu sekitar 90% dari pasangan di India. Oh My God…!
Pro dan Kontra…
Talking about arranged marriage, there are many pros and cons that are associated with it. One of the positive aspects about arranged marriages is that it gives the parents utmost control over family matters and members. Since they are the ones who would decide on the prospective bride and groom, they would get someone, who is the best for their son/daughter. On the other side, arranged marriages are seen as a medium to promote racism and class system. Also, they have proved to be the best medium to take dowry. Over the years, arranged marriages have posed to be more like a trade than a social custom. People find it an easy medium to make money.
While the above negative aspects can still be dealt with, one of the most crucial drawbacks of arranged marriage is that the boy and the girl do not know each other. Two unknown people get married without knowing and understanding each other, as according to the concept, it is not important to know your partner before marriage. As such, chances of not gelling well with the partner are very high. (http://weddings.iloveindia.com/features/arranged-marriages.html)
Website yang saya lihat juga memuat pro dan kontra arranged marriages. Pro-nya adalah keluarga akan menganggap bahwa pilihan mereka adalah yang terbaik bagi anak lelaki ataupun perempuannya. Sedangkan kontranya, ini menambah jurang pemisah bagi kesetaraan karena memancing rasisme dan kesenjangan sosial. Secara jujur, pernikahan macam ini dianggap lebih merupakan ‘trade’ alias dagang… daripada kebiasaan sosial. Dan lebih parahnya, dari perkawinan macam ini diharapkan bisa menghasilkan uang. Belum lagi dua orang ‘stranger’, dua orang asing yang bertemu dalam satu ikatan perkawinan yang belum pernah saling bertemu atau bertegur sapa sebelumnya. Dan pernikahan itu berarti harus menghadapi banyak hal yang tidak menyenangkan, banyak problem, dan harus menghadapinya dengan seorang asing? Koq rasanya sulit ya… Terkadang menghadapinya dengan seorang mantan pacar yang sudah kita kenal belasan tahun lamanya saja, tidak mudah... Apalagi dengan seorang yang asing di hati?
Mata saya dibukakan hari ini, masih untung saya memiliki kebebasan untuk memilih… Simpati yang besar bahwa kondisi semacam ini masih berlaku di India, di zaman se-modern ini… Atau di negara-negara lain yang juga menganut arraged marriage adalah yang terbaik… Walaupun sulit diterima, namun memang itulah kenyataan pahit yang terjadi di dunia ini…
Hanya bisa mensyukuri kebebasan saya untuk mencinta dan memilih pasangan yang terbaik bagi diri saya… Terima kasih untuk teman-teman saya, wanita-wanita India yang tangguh yang telah berbagi cerita hidup mereka…
Singapore, 16 September 2009
-fon-
gambar:http://www.indiaweddingplanner.com/images/royal_weddings.jpg
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment