Friday, September 25, 2009

Perfeksionis-Cerpen


Ida membuka lemari pakaiannya. Banyak sekali baju yang ada di situ, sampai-sampai dia membutuhkan sebuah ruangan tersendiri untuk pakaian, tas, ban pinggang, sepatu, belum lagi koleksi topinya yang membutuhkan perawatan khusus karena ada beberapa yang ada bulu-bulu segala bak ratu dari kerajaan Inggris.

Tetapi, Ida masih saja memandangi itu semua dengan tidak puas. Hari ini dia ada janji penting, kencan pertamanya dengan seorang wakil direktur bank internasional. Wajar saja dalam pikirannya, apabila dia ingin menampilkan yang terbaik, namun memang Ida yang terkenal perfeksionis ini tidak pernah puas. Selaluuu saja merasa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya.
Terlepas dari tubuhnya yang memang kecil mungil, Ida sangat menarik. Wajahnya yang bulat telur, matanya yang indah, dan hidungnya yang mancung. Belum lagi bibir tipisnya yang menawan.

Wah, dia membuat pria maupun wanita yang melihatnya di mall pasti menoleh dan diiringi pandangan iri dari beberapa kaum hawa yang berpapasan dengannya. Dan itu tanpa disadari membuat Ida menjadi sombong.

Ida, yang kali ini sudah agak diambang rasa frustrasi yang dalam, karena usianya sudah melewati angka 30. Memang angka ini masihlah merupakan angka keramat bagi para wanita, apabila belum menikah di usia ini, sudah merasa khawatir dan was-was.

Jadi, untuk Ida, kencan kali ini dengan seorang pria mapan wakil direktur bank, tentunya tidak akan disia-siakan begitu saja…

Setelah berkutat selama dua jam di depan kaca besar lebih tinggi dari tubuhnya yang kecil mungil itu, akhirnya Ida sudah memutuskan pakaian apa yang harus dipakai.

Karena kali ini kencannya adalah orang hebat (setelah sekian lama dia harus menerima dikenalkan dengan siapa saja, termasuk orang yang menurutnya tidak satu level dengan dia), dia memilih untuk tampil sederhana namun elegan. Bukankah sederhana namun anggun itu yang jadi patokan berpakaian artis-artis Hollywood? Ida memasang patokan selalu tinggi. Maklum dia perfeksionis. Dan itu juga yang membuat orang-orang selalu berkata bahwa dia terlalu pemilih sehingga belum juga mendapatkan calon suami yang sesuai dengan kriterianya.

Tetapi Ida tidak peduli. Mungkin kali ini, sang ksatria itu akan tiba. Ksatria berkuda putih yang siap membawanya keluar dari rumah orang tuanya ini.

Ida pun sudah menurunkan standarnya. Dia bersedia dikenalkan dengan siapa saja. Padahal dulu, beberapa tahun yang lalu, mana mau dia lakukan itu?

Ting Tong…

Terdengar bunyi bel di rumahnya. Papi dan maminya tengah pergi ke suatu pesta perkawinan. Cuma yang ada Mbak Iyem, pembantu rumah ini.

Ida buru-buru merapikan dandanannya (yang sebetulnya sudah tertata rapi sekali), lalu memakai sepatu yang berwarna keemasan dan menggapai sebuah tas tangannya yang berwarna senada. Selalu tas dan sepatunya harus berwarna senada. Kalau tidak, apa kata dunia??

Ketika ia melangkah ke ruang tamu, dilihatnya seorang pria kurus, hitam, sedikit lebih tinggi dari Ida, dan sama sekali tidak ada tampang wakil direktur bank internasional. Apa yang terjadi? Apa Oom Adnan, adik papi itu salah? Apa ini sopirnya William, wakil direktur bank itu? Atau hmmm… atau?? Ini William sendiri???

TIDAK MUNGKIN! (Ida berperang dalam hatinya sendiri dan melakukan monolog dalam hatiny). Karena apa yang dia idam-idamkan, apa yang dia impi-impikan, seorang pria mapan berwajah setampan Ari Wibowo, bermobil mewah, berubah menjadi itik buruk rupa begini??

Oh, tidakkkk!!!

Hampir saja Ida berbalik kembali ke kamarnya, kalau dia tidak menahan dirinya dengan alasan kesopanan. William? Yang bersuara bariton merdu itu ternyata tampangnya di bawah standar?

“ Oh Tuhan, haruskah aku menunggu lagi sang belahan jiwa calon suamiku?? Dia sebetulnya sangat kuharapkan jadi suamiku karena begitu bagus semua yang ada pada dirinya, kecuali… kecuali wajah dan fisiknya, Tuhan. Mengapa Engkau begitu kejam padaku, Tuhan? Mengapa Kau hancurkan impianku, bahkan di saat aku belum menjalaninya?? Apakah memang tidak ada jodoh dari- Mu untukku??” Ida terus mengeluh dalam hatinya. Akhir-akhir ini, ketika dia semakin ingin menikah tetapi sang jodoh tak kunjung tiba, Ida menjalin relasi yang cukup dekat dengan sang Pencipta. Sang Perfeksionis itu mulai kerepotan dengan sikapnya sendiri dan mulai tidak sanggup dengan beban hidup. Kalau memang dia begitu sempurna, mengapa untuk mendapatkan seorang pria sebagai jodohnya saja dia tidak sanggup??

Enam bulan kemudian…

“ Terima kasih, Tuhan untuk William yang Kau hadirkan dalam kehidupanku. Aku semakin percaya Tuhan, kalau William adalah orang yang memang sudah Kau siapkan untukku, bukan seorang yang rupawan, jauh dari impianku kalau secara fisik, ya Tuhan. Namun dari sini aku belajar, bahwa aku harus melihat orang jauh ke dalam hatinya. William tidak rupawan dari sisi fisik, namun dia sangat rupawan dalam hatinya. Dari dia, aku mengenal Engkau lebih dekat lagi, ya Tuhan. Dari dia, aku melihat banyak kebaikan yang tak pernah kusadari sebelumnya. Dalam dirinya, aku melihat begitu banyak ketulusan yang semakin jarang kutemui di dunia sekarang ini. Terima kasih Tuhan.”

Ida berdoa di kamarnya yang indah dan tertata rapi. Maklum, perfeksionisnya belum hilang sepenuhnya. Dia masih ingin segala sesuatunya sempurna.

Dalam keheningan doanya, Ida pun membiarkan Tuhan berbicara kepadanya, Ida ingin mendengarNya. Lalu terdengar bisikan dalam hatinya, Tuhan bertanya kepadanya, “ Apakah ada yang kurang dalam penyelengaraan-Ku?”

Ida menangis terharu dan menjawab, “ Sama sekali TIDAK, Tuhan! Apa yang Kauberikan kepadaku jauh melampui akal pikiranku, lebih dari apa yang aku harapkan. Hanya saja memang sama sekali tak pernah terbayangkan.”

Lalu terdengar lagi bisikan lembut di hatinya, “ Rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, namun adalah rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan,”

Ida kembali menghapus air mata yang mengalir di kedua belah pipinya, “ Betul sekali ya Tuhan, bahwa Engkaulah yang pelihara hidupku. Engkaulah yang tahu apa yang terbaik bagiku. Ampuni kesombonganku selama ini, maafkan aku ya, Tuhan. Ampuni aku karena aku selalu ingin segalanya sempurna menurut diriku sendiri. Padahal yang sempurna hanyalah ENGKAU, Allahku.”

Bunyi handphonenya menghentikan sejenak percakapannya dengan Sang Pencipta…

“ Sudah tidur, da?” Terdengar suara bariton di seberang sana. William tentunya!

“ Belum, aku baru saja selesai berdoa dan masih dalam suasana doa, aku bercakap-cakap dengan Tuhan, indah sekali. Terima kasih Wil, kamu sudah mengajariku kedekatan relasi yang lebih lagi dengan Dia,” ujar Ida dengan syukur.

“ Oh, syukurlah kalau begitu. Aku hanya mau ingatkan kamu untuk tidak lupa misa jumat pertama besok, karena aku sendiri ada meeting paginya, aku baru bisa ke gereja sore hari, malamnya baru kita bertemu, ya?”

“ Baik, Wil, ma kasih ya, selamat malam, “ Jawab Ida.

“ Ok, selamat malam, dan tidur yang nyenyak ya…” William pun mengakhiri percakapannya dengan Ida.

Ida masih termenung, antara bersyukur dan bahagia, dan dalam tidurnya pun senyum simpul di bibirnya masih terus terlihat. Dia bahagia…

Delapan belas bulan setelah pertemuan pertamanya dengan William…

Ida memandangi pantulan wajahnya di cermin, dia tersenyum puas. Kerudung putih pakaian pengantinnya begitu indah, seindah pakaian anggun yang ia kenakan. Dan wajahnya pun sangat manis, tanpa adanya kesombongan ataupun kesinisan yang kerap ada di raut wajah perfeksionisnya selama ini.

Ida bahagia. Ia mengucap syukur, “ Terima kasih Tuhan untuk William yang Kau hadirkan dalam hidupku. Terima kasih karena sudah mengajarkanku mengasihi tanpa syarat dalam biduk rumah tangga bersama suamiku, William.”

Hari ini, pesta perkawinan dan sakramen sudah dilaluinya dengan baik. Dan menapaki hari-hari selanjutnya, Ida, sang perfeksionis yang sudah bertobat itu, mau menerima dan mencintai William, seseorang yang sama sekali berbeda dengan angan-angannya, seumur hidupnya.

“ Jelas saja, William sangat berbeda, ya Tuhan. Karena William bukan angan-angan semata. Dia sungguh nyata! Terima kasih , Tuhan untuk hadiah terbesar dalam hidupku. Kesadaran bahwa aku tidak sempurna. Ada orang lain yang begitu baik yang mampu menyempurnakan diriku hari lepas hari. Dan kami takkan mungkin bertahan tanpa kasih yang paling sempurna yang hanya ada dalam diriMu, Tuhan. Terima kasih untuk hari indah ini…” Ida bercakap-cakap kembali dengan Tuhan.

Tuhan sungguh sudah mengubahkan si perfeksionis Ida, yang maunya serba sempurna tanpa bisa ditentang. Tapi Tuhan sudah siapkan semua rencana-Nya untuk Ida. Dan bukan itu saja, Tuhan sudah siapkan rencana-Nya yang terbaik untuk kita semua. Yang bisa kita lakukan hanyalah beriman dan percaya kalau Tuhan sudah siapkan yang terbaik untukku, untukmu, untuk Ida, untuk kita semua. Amen.

Singapore, 18 Februari 2008

-fon-

* tulisan lama, dari arsipku kurang lebih setahun setengah yang lalu. Sedianya untuk Majalah Rohani Evangelion. Sampai lupa, jadi dimuat ato tidak hehe... :)

sumber gambar http://beyondbounds.org/wp-content/uploads/2009/03/perfectionist.jpg

No comments:

Post a Comment