Thursday, September 3, 2009

Sepatu


Awalnya, di deretan rak itu aku berada. Di sebuah toko sepatu berkelas yang hanya dikunjungi oleh perempuan-perempuan berselera tinggi dan berduit. Dia melihatku, mencobaku berkali-kali sambil mematut diriku di depan kaca pendek khusus seukuran kaki. Lalu, dia juga membawaku ke cermin seluruh badan yang memperlihatkan keserasianku dengan segala atribut yang dikenakannya. Dan akhirnya dia memilihku. Dia tersenyum puas dan bahagia. Lalu aku dibawanya pergi. Kini statusku adalah sepatu baru yang ditenteng langsung pemilikku dari toko bermerek dan dengan bangga dia tersenyum seolah memperlihatkan kepada seluruh wanita yang berpapasan dengannya

“ Ini lho, gue…Hebat kan nenteng sepatu bermerek mahal?”

Ah, perempuan… Biasa! Selalu begitu, kan? Penuh persaingan dan rasa iri terutama dengan apa yang dipakai perempuan lainnya. Mulai dari tas, jam tangan, baju, perhiasan, sampai sepatu… Tak pernah luput dari perhatian mereka.

Sejujurnya menjadi sepatu bermerek bagiku sama saja. Karena nasibku ya tetap sama seperti sepatu-sepatu lainnya, tetap saja diinjak-injak pemilikku. Dan kadang dimarahi pula, kalau aku tak sengaja membuat lecet kulitnya. Dan terlebih dalam kasusku, marahnya lebih lagi. Sudah mahal, bikin lecet pula! Begitu ungkapan pemilikku itu tadi.
Dalam posisi diinjak-injak minus makian saja, aku sudah keberatan. Dalam arti, aku harus menopang tubuh pemilikku itu tadi. Yang semua berat tubuhnya tertumpu dan tertuju pada satu, diriku. Memang sih untungnya aku sepasang, kiri dan kanan, jadi masih bisa bagi dua. Coba kalau aku hanya satu, lebih ribet lagi rasanya.
Terkadang, aku juga ingin teriak, bebanku teramat berat. Apalagi, maaf nih, kalau pemilikku overweight, aduh…aku ngos-ngosan. Aku berhak tinggi. Tujuh senti. Warnaku hitam. Kata orang sih konservatif dan hitam itu abadi, bisa dipakai di tiap suasana, walaupun tergantung juga ‘matching’ tidaknya dengan tas, baju, ataupun dandanan di hari itu. Fungsiku sebetulnya sepatu pesta, karena ada manik-manik bak berlian di seluruh tubuhku. Memang hitam mendominasiku, tapi kilauku menjadi nyata karena manik-manik itu, jadi bling-blingkinclong lah pokoknya!
***

Hari pertamaku di rak sepatu yang tidak serapi yang kuduga dimulai. Kukira, pemilikku yang berwajah manis itu seorang yang memperhatikan sekali penampilannya dan menjaga seluruh koleksinya dengan apik. Rupanya, aku salah sangka! Dia hanya menempatkan aku di salah satu raknya, bercampur dengan sepatu-sepatu yang lain…Yang maaf saja, mereka amat butut. Sudah jelek, teplek, bukan karena sepatu teplek atau sandal teplek, tapi karena mereka tak terawat dan sudah dipakai sampai sol sepatunya menipis.
Dan kupikir, tadinya, nasibku akan jauh lebih baik. Setidaknya karena dia membeliku dengan mahal, hargaku jutaan rupiah, dia akan menempatkanku di satu tempat spesial. Nyatanya? Aku hanya diletakkan begitu saja berbaur dengan sepatu kets, bakiak, sandal jepit, sepatu kantor yang semuanya kondisinya tidak baik-baik saja. Mereka sudah hampir rusak, agak rusak, atau rusak total.
Harga diriku agak tertoreh sebetulnya, koq bisa-bisanya aku yang dibeli mahal diletakkan sama seperti sepatu lain yang tak berharga itu? Sejujurnya, tak sudi aku! Tak sudi!
Yang membuatku makin tak mengerti, melihat koleksinya yang amat biasa, aku jadi bingung, apa yang membuatnya memilihku untuk dibeli olehnya.

Akhirnya, kejelasan itu tiba. Dian, nama pemilikku rupanya sedang stress ketika membeliku. Dia diundang mantan pacarnya ke perkawinannya. Dia kesal. Dan menurutnya itu menyebalkan. Untuk membalas rasa kecewanya, dia belanja sepatu mahal, hampir setengah gajinya dia hamburkan untukku. Tujuannya cuma satu, tampil maksimal di perkawinan mantan dengan diriku.

Tiba-tiba aku merasa kasihan pada Dian. Dia berjuang keras untuk memilikiku. Dan kesombonganku yang awalnya membawaku tak mau bergaul dengan sepatu-sepatu lainnya, mencair seketika. Hanya karena aku merasa kasihan pada Dian. Dari sepatu-sepatu yang lain, aku mendapatkan informasi tentang Dian. Sebetulnya dia seorang yang baik, bersahaja, apa adanya. Namun, kali ini dia kecewa. Ah, boss…Boss-ku Dian! Aku akan berusaha membuatmu betah di tubuhku yang menopangmu malam itu dan membuatmu tampil istimewa. Aku mau mengabdikan diriku sepenuhnya bagimu karena ternyata kamu orang yang baik!
***

Malam itu tiba juga. Dian sudah berdandan maksimal, habis-habisan. Tapi kulihat wajahnya murung, tak ada senyuman. Mungkin sakit hatinya muncul lagi, mendera dirinya dengan begitu berat sehingga di wajah manis itu tak ada senyuman sama sekali. Dan melihatnya begitu rupa, aku kasihan.

Aku jadi ingat nasib kami, para sepatu, terlepas dari status kami: mewah, sederhana, menengah. Tinggi, pendek, teplek, kets, wedges, tip-toe. Kami semua mengalami injakan yang sama. Terasa tak enak sih diinjak dan ditindas, tapi apa mau dikata, itu tugas kami. Namun, kalau manusia seperti Dian, harusnya jangan mau ditindas. Mereka masih bisa memilih untuk berkata tidak pada penindasan, pada orang-orang yang menginjak-injak harkat dan martabat mereka sebagai manusia karena mereka pantas untuk bebas dan merdeka.

Dian, aku harap hari ini kau bebas dari perasaanmu terhadap mantanmu. Dia sudah berlalu, jangan sampai dirimu terus ditindas oleh perasaanmu sendiri. Terlalu sering kulihat Dian melamun menjelang hari H ini. Hari bersejarah milik mantannya. Sebetulnya, Dian bisa sih tidak datang ke pestanya. Dia bisa menghindar dan tak perlu menatap kebahagiaan mantannya dengan hati tersiksa. Tapi, Dian tak mau, dia tak mau mundur. Dia mau menyelesaikan semuanya walaupun itu berarti dia mengorbankan perasaannya.
***
Dengan langkah pasti, kami pulang dari pesta. Sukses! Dian tampil prima dan dia bisa menyelesaikan seluruh pesta dengan baik. Wajahnya tersenyum prima. Tapi, di balik itu semua, sepulang dari pesta, Dian menangis. Dari taksi sampai kamarnya, dari tadi sampai sekarang, dia masih menyisakan tangisan tanpa henti. Dian memang bukan wanita super. Mungkin dia tak bisa lepas dari tindasan perasaannya sendiri. Namun, apa mau dikata. Aku hanya berharap yang terbaik baginya.

Setelah pesta itu, nasibku sama saja. Masih menjadi penghuni rak gelap dan mulai bersahabat dengan kanan-kiriku. Mereka pun melihat perbedaanku, dulu aku agak sombong katanya… Sekarang? Aku sudah membaik. Lagian, setelah kupikir-pikir, buat apa aku sombong? Wong sama-sama diinjak dan ditindas koq… Kadang dimaki-maki pula sama pemilik kami. Untungnya, Boss Dian ini agak bagus mood-nya. Terkendali, begitu kira-kira. Jadi, kami tak terlalu sering jadi pelampiasan dirinya.

Tahun demi tahun, aku masih di situ. Kanan-kiriku berganti, sepatu baru datang dan pergi. Namun, aku masih tetap di situ. Tubuhku pun sudah tak sekemilau dulu. Bling-bling di tubuhku sudah mulai pudar walau warna hitamku tak berubah. Pekat.

Kulihat Dian masih dalam kesendiriannya. Namun, sepertinya dia menikmatinya. Aku jarang dipakai, kecuali saat pesta resmi dan pesta besar. Aku hanya hadir di hotel mewah atau gedung pertemuan yang bagus saja. Dengan status seperti ini harusnya aku berbangga.

Bangga?
Lagi-lagi jawabanku: “ Biasa aja, tuh…!”
Kebanggaan itu ada pada melayani tuanku. Melayani majikanku dengan sepenuh hati. Walaupun aku diinjak-injak olehnya, namun aku bahagia asalkan ada senyuman di sana.
Beginilah nasib jadi sepatu yang tak bisa berkata tidak kalau diinjak manusia. Tapi, kamu manusia, jangan mau ditindas atau diinjak-injak orang yang tak bertanggung jawab, ya! Kamu bisa memilih hidupmu, kamu bisa menentukan apa yang sesuai dengan kata hatimu. Bebas…Merdeka…
Bebas ber-ekspresi, bebas ber-inspirasi, bebas jadi diri sendiri tanpa campur tangan orang lain yang ingin mengubahmu.
Jadilah dirimu sendiri…

Uhukkk… Uhukkkk…
Suara batukku semakin berat, aku hampir tak mampu menyelesaikan ucapanku tadi. Dan sepertinya umurku tak lama lagi. Kulihat, Dian sudah mulai membungkusku rapi dan bersiap-siap membuangku. Dia ragu, berkali-kali dia ingin lakukan itu, namun tak berhasil juga. Sampai akhirnya, temannya datang, mematahkanku. Katanya, biar semua memori itu hilang tak bersisa dari ingatannya. Mungkinkah?
Kisahku sudah usai. Namun, Dian tak juga membuangku. Dia masih menyayangiku. Walaupun dia tak berusaha menyambung hak sepatuku, namun dia menyimpanku di tempat yang kuinginkan sejak dulu, di lemari bersama baju-baju mewah.

Tragis. Akhirnya, kudapatkan apa yang kumau di akhir hidupku. Tak mengapa, asalkan sudah kulakukan pelayanan seumur hidup bagi Dian majikanku.
Aku puas, aku bahagia, dan kututup mata dengan tenang. Untuk selamanya.

Singapore, September 04, 2009
-fon-
* Hidup itu singkat. Dan dalam singkatnya hidup, bagaimana kita masih terus bisa produktif dan memberi yang terbaik bagi hidup kita dan kehidupan itu sendiri. Semoga renungan sepatu ini, membawa kita ke arah sana…
Btw, beberapa outlet sepatu di Singapore lagi sale, nih…Jadinya begini ini ceritanya… hihihi…:)


Picture: http://media.photobucket.com/image/black%20shoes%20for%20girls/takingthechance/111405_designer_shoes.jpg

No comments:

Post a Comment