Monday, March 1, 2010

Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga



Setelah bertahun-tahun terbiasa menuliskan kata dealer saham di kolom pekerjaan di formulir yang saya dapatkan, tahun-tahun belakangan ini kolom itu harus saya isi dengan : Ibu Rumah Tangga. Memang benar bahwa inilah panggilan yang juga merupakan pekerjaan yang saya lakoni setidaknya tiga tahun terakhir. Ada rasa sedikit ‘tertoreh’ ketika saya menuliskan kata tersebut. Bukan karena saya tidak respek pada pekerjaan sekaligus panggilan ini, namun rasa tertoreh itu karena Si Ego dalam diri saya menyeruak. Minta dikasihani.

Selama ini disadari atau tidak, saya sejujurnya tetap mencari suatu kegiatan yang setidaknya cocok dengan latar belakang pendidikan atau karir saya. Di Singapura sendiri, saya sempat mencoba meraih kesempatan untuk menjadi dealer saham (lagi). Sejujurnya, bukanlah panggilan hati yang terdalam, karena saya tak pernah mencintai pekerjaannya karena bagi saya yang mau serba teratur, ‘stock market’ adalah kuda liar tanpa kendali yang tak pernah bisa saya tahu ke mana arahnya. ‘Bearish’ atau ‘bullish’ bisa berubah seketika walaupun para analis tetap punya perhitungan sendiri entah secara teknikal ataupun dengan melihat laporan keuangan perusahaan yang diterbitkan secara berkala. Atau bila ‘market’-nya belum ‘establish’, belum begitu berkembang, rumor atau gosip tetap menjadi makanan empuk bagi turun-naiknya saham.

Singkat cerita, setelah mencari tahu ujian apa yang cocok bagi saya untuk mendapatkan kursi seorang dealer di Singapura, saya merencanakan ikut ujian. Ujian pertama, jujurnya, ketika anak kami masih dalam kandungan. Dengan pertimbangan kalau sudah melahirkan lebih sulit lagi bagi saya untuk belajar. Akhirnya saya ujian. Ujian pertama: gagal. Angka kelulusan saya ‘hanya’ 70-74, padahal yang diminta 75.

Okelah kalau begitu, coba lagi! Beberapa bulan kemudian, saya coba lagi, hasilnya sama lagi, 70-74. Duh, kurangnya di mana ya? Sudah belajar peraturan yang tak pernah saya sentuh di Singapore Stock Exchange itu, masih juga tak lulus.

Sementara interview pernah saya lakoni. Pernah pula mempertemukan saya dengan salah satu anak ahli waris suatu bank ternama di Singapura. Mungkin kalau di Indonesia kelasnya sama dengan anak konglomerat kita, begitulah. Dengan rasa bangga, terharu, dan menambah percaya diri. Mungkin saya akan terpilih. Eh, siapa sangka, setelah interview dengan Si Babe itu, malah saya tidak diterima. Tetapi, setelah itu tak lama, saya melihat hancur-hancurannya market saham dunia. Saya masih melihat perlindungan Tuhan dalam hal ini, karena Tuhan tidak mengizinkan saya untuk masuk market saham di Singapura karena saya belum memiliki pengetahuan yang cukup dan biarpun saya masuk ke market Singapura dan nge-deal saham Indonesia, pastinya saya yang kurang begitu ‘update’ dengan kondisi pasar karena cuti melahirkan akan sedikit banyak mengalami kesulitan. Belum lagi anak kami yang masih bayi, juga belum bisa ditinggal sebetulnya. Dan satu hal yang menyentakkan saya, sementara di Indonesia terkadang masih terdengar selentingan yang hampir berbuah nyata: “ Fon, elo mau balik kerja, gak? Tapi balik ke Jakarta, ya!”

Mengelus dada.

Hanya itu yang bisa saya lakukan. Memang jalan-Nya tak pernah mampu terselami. Memang ini pula pilihan saya untuk bersama dengan suami dan keluarga. Beberapa orang menyayangkan, kesannya saya mengorbankan karir 10 tahun saya yang seolah percuma. Namun saya rasa, hati saya tak pernah bohong, saya tak bisa jauh dari keluarga. Saya bukan tipe yang suka ‘long-distance’. Pacaran aja gak mau, apalagi udah menikah! Tentunya prinsip hidup orang beda-beda, tapi itu yang saya pilih dan saya inginkan. Dan akhirnya, saya memilih konsentrasi lagi pada ujian saham saya di Singapura, mencoba peruntungan saya di bidang yang sudah saya lakoni 10 tahun. Siapa tahu, nasib baik berpihak pada saya? Dan hasilnya, ujian ketiga: GAGAL LAGI :). Sekarang nulisnya sambil nyengir, padahal waktu jalaninnya nangis Bombay hahaha.. Habis, sudah tiga kali gagal melulu dengan hasil SAMA, saudara-saudara! 70-74! Wkwkwk….(ketawa aja deh, daripada sutris hehe).

Terkadang, sepertinya ada harapan lagi. Ketika salah satu ‘house’ asing (perusahaan sekuritas asing) di Singapura menelpon saya. Dan menjanjikan kalau saja saya lolos tes saham dari Singapura, saya akan dapat kesempatan interview. Okay, coba lagi, tak ada salahnya. Kali ini, lulus! Puji Tuhan! Setelah gagal tiga kali, akhirnya lulus juga. Kali ini saya berlatih soal terlebih dahulu. Dan nilai kelulusan saya amat tipis, hanya di kisaran 75-79. Ah, gak pa-pa, yang penting lulus, ya gak?

Senang donk pastinya. Akhirnya mungkin inilah saatnya kembali ke dunia kerja, setelah anak berumur 2 tahun lebih. Dan setelah lulus menunggu telepon sakti itu. Satu bulan, dua bulan, masih tak ada kabar berita. Konon kabarnya, dealer lama yang mau berhenti malah tetap ‘stay’. Mungkin dikasih tambahan gaji, ato bonus, entahlah? Yang pasti mereka tidak memerlukan seorang dealer yang tidak berpengalaman apalagi baru lulus ujian seperti saya hehehe…

Tuhan Maha tahu.

Setelah sekian lama menunggu, kabar lainnya tiba. Pindah negara.

Hah, pindah lagi?

Iya, Nak, Kamu pindah lagi. Gitu kata-Nya.

Saya hanya pasrah. Karena Tuhan punya caranya sendiri. Walaupun yaaa, ngenes juga ya, koq setelah lulus malah pindah. Koq Tuhan senengnya maen-maen kayak gini lho?:)

Tapi, memang jujurnya, saya sering merasa pekerjaan itu bukanlah yang sesuai dengan kata hati saya. Walaupun saya tidak memungkiri dari sisi bonus, gaji, ataupun ‘outing’ memang menjanjikan. Bali, luar negeri, atau hotel bintang lima sering jadi tujuan para pelaku pasar modal ketika ‘outing’. Dan saya pun belumlah sukses sampai gimana ya, masih dalam tahap manager. Belum top position. Saya bersyukur juga buat kesempatan untuk mengecap indahnya dunia itu, walaupun saya sadar pada akhirnya itu bukanlah yang saya suka.

Pindah ke Vietnam.

Masih bingung juga mau ‘ngapain’. Nulis lagi aja deh. Itung-itung menyalurkan hobi. Hobi yang sedikit banyak sudah mulai menampakkan hasil secara perlahan. Namun, meminjam isitlah seorang sahabat yang seorang Biksu agama Budha. Beliau bilang yang penting menulis dengan hati, karena yang membaca pun punya hati. Dan jalinan hati ke hati ini mungkin yang lebih kuat dan menjadikan suatu tulisan yang punya hati menyentuh para pembacanya. Saya tidak tahu, seberapa besar saya telah menyentuh pembaca saya. Yang pasti saya terus berusaha untuk menulis dengan hati apa pun yang terjadi.

Keinginan lain yang selalu datang dan pergi selama ini dan pernah juga saya lakoni adalah menjadi seorang guru yang menyalurkan apa yang saya miliki kepada orang lain. Di Jakarta, saya melakukannya sebagai seorang guru SD dan guru playgroup yang khusus mengajar bahasa Inggris ketika saya kuliah. Menjadi guru dan penulis, bukanlah pekerjaan yang menjanjikan seperti dealer dalam hal penghasilan (kecuali penulisnya itu penulis best seller, semisal J.K. Rowling, Stephenie Meyer dengan Twilight-nya atau Dan Brown). Tetapi, saya menemukan kedamaian di sana. Sampai hari ini jujur, saya juga masih mencari apa yang saya inginkan dan sedikit banyak mulai menemukannya. Dan pencarian itu bagi saya baru dimulai di atas 30 tahun, saat di mana sebagian orang mulai merasa mapan dan nyaman dengan karir mereka, saya malah diluluhlantakkan tak tentu arah.

Kalau dulu, dengan segala kemudahan dan kesuksesan yang nampaknya selalu ramah tersenyum pada saya, mungkin saya akan dengan mudah pingsan. Collapsed. Tapi, kini saya belajar. Dan pelajaran itu bermanfaat luar biasa bagi saya. Kesuksesan bukanlah segalanya, yang penting saya setia dengan apa yang saya kerjakan dengan hati. Kesannya klise, kesannya mungkin menghibur diri, namun di balik itu semua, saya sungguh merasakan bahwa saya menjadi lebih mampu bertahan dan lebih mengerti tentang penderitaan. Bahwa saya bukanlah yang paling menderita sedunia. Saya masih beruntung! Yang mungkin masih saya cari adalah yang pas di hati dan syukur-syukur bisa menghasilkan. Dan sebagai satu proses tak terelakkan, saya harus belajar menyadarinya.

Hidup tak selamanya sukes, tetapi ketika gagal, bagaimana kita bangkit lagi dan tak terpuruk di dalamnya.

Hidup tak selalu mudah, banyak perubahan, adaptasi, dan termasuk (mungkin) kenyataan yang menyimpang terlalu jauh dari rencana kita.

Hidup tak selalu isinya hanya tawa sumringah, ada kalanya kita harus menerima hari-hari penuh tangisan dan air mata.

Namun, di balik itu semua, saya menemukan arti kehidupan yang sesungguhnya. Dan pada akhirnya mengajarkan saya bagaimana saya harus tetap bertahan, berjalan, dan menurut buku yang tengah saya baca: memutuskan untuk tetap bahagia dalam kondisi apa pun. (Andrew Matthews: Happiness in Hard Times). Dari buku itu pun saya menyadari bahwa apa yang saya alami sekarang tidak seberapa, atau malah tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kisah-kisah inspirasional di dalamnya. Ada suami yang harus kehilangan istri kemudian kehilangan anak tunggal mereka dan akhirnya menjadi seniman dan tinggal di Bali. Ada orang yang dililit hutang habis-habisan dan rumahnya disita dan terakhir perlahan bangkit lagi. Setiap orang pada satu ketika mungkin harus berhadapan dengan badai kehidupan. Dan akhirnya, itu semua menyadarkan saya untuk berterima kasih untuk hal-hal yang utama dalam kehidupan. Keluarga (suami, anak, kakak/adik, orang tua, mertua, kakek-nenek, dll), kesehatan, hobi atau kesukaan-tempat di mana saya letakkan hati saya di dalamnya.

Si Ego terkadang menyentil dan berkata: “ Apa gak malu jadi Ibu RT, sementara gak punya penghasilan dan tergantung pada suami?”

Jujur saja, perasaan itu pernah ada. Setelah mulai dari kuliah saya pegang uang sendiri hasil mengajar dan kerja serabutan yang halal ditambah sepuluh tahun memiliki gaji, pastinya saya merasakan kehilangan ‘power’, kehilangan kuasa karena saya tak lagi pegang uang sendiri. Sekaligus saya disadarkan bahwa semua itu milik Tuhan. Kalau Tuhan mau kasih, Dia akan ngasih koq. Saya tidak perlu kuatir! Mungkin sekarang belum waktu-Nya bagi saya. Dan saya pun belajar bahwa lagi-lagi memang uang bukan segalanya. Bukan munafik karena perlu uang juga buat hidup, tapi kalau sampai mendewakan dan melakukan hal-hal jahat demi uang, jangan sampai ya, Tuhan!

Formulir itu masih ada di tangan saya. Kolom pekerjaan yang kosong cepat-cepat saya isi: ibu rumah tangga. Dengan perasaan bangga, bersyukur, sekaligus tahu susahnya dan capeknya mengerjakan kerjaan rumah itu. Saya menikmatinya! Walaupun saya tetap berdoa semoga suatu saat saya berkesempatan memiliki karir lain di luar hal ini. Tapi, saya tetap ingin jadi ibu rumah tangga yang bisa melihat perkembangan anak saya. Kerja full time untuk saat ini, bukan lagi pilihan saya.

Ibu rumah tangga? Siapa takut? Ehm, sebenarnya takut juga sih :), tapi ternyata setelah dijalani sekian tahun dengan bimbingan-Nya, bisa juga ternyata. Walaupun saya tahu saya masih jauh dari sempurna, tetapi saya ingin belajar jadi Ibu yang baik, istri yang baik, dan jadi manusia yang seutuhnya sesuai apa yang Dia rencanakan bagi saya.

HCMC, 01 Maret 2010

-fon-

* rancangan-Mu bukan rancanganku, Tuhan! Ajarku semakin berserah, menikmati indahnya mengarungi kehidupan yang sudah kau rencanakan dengan penuh semangat. Dan bersyukur untuk tiap detik yang Kau anugerahkan dalam hidupku. Amin.


Sumber gambar:
http://www.babble.com/CS/blogs/strollerderby/2009/05/Stay%20at%20HOme%20MOm.jpg

4 comments:

  1. Thanx For Share ^^

    Semua akan indah pada waktuny sis ^^

    Best Regard LeeNa

    ReplyDelete
  2. Thanx For Share ^^

    Semua akan indah pada waktuny sis ^^

    Best Regard LeeNa

    ReplyDelete
  3. Thanx For Share

    Semua akan indah pada waktu-Nya
    sadhu sadhu sadhu

    ReplyDelete
  4. @ Leena: Trima kasih, Leena. Aku percaya itu:)

    ReplyDelete