
Amin, Siti, dan Ishak ketiganya merupakan anak SD kelas empat. SD Negeri 1 di 
Pak Prapto: Siapa yang pertama kali meminta contekan dari teman kalian?
Amin: Siti, Pak.
Siti: Ishak, Pak.
Ishak: Amin, Pak.
Karena semua menjawab nama temannya, tentunya Pak Prapto malah menjadi kebingungan.
Pertanyaannya lalu diubah…
Pak Prapto: Kalau begitu, siapa yang pertama kali memberikan contekan kepada teman kalian?
Amin: Saya, Pak.
Siti: Bukan Amin. Saya, Pak.
Ishak: Bukan Siti, bukan Amin. Tetapi, SAYA, Pak!
Makin kebingungan Pak Prapto dengan segala pengakuan yang menonjolkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain begini. Dia pun berusaha keras, memikirkan pertanyaan berikutnya…
Pak Prapto: Yang mengakui secara jujur bahwa dia mencontek akan Bapak berikan hadiah sepasang sepatu baru!
Amin, Siti, dan Ishak memandang kaki mereka yang terbungkus sepatu butut dan robek di beberapa bagian. SD Negeri ini menerima banyak anak yang tak mampu di lingkungan dekat sekolah. 
Semua berlomba-lomba bilang:
” Saya, Pak!” Sambil mengacungkan jari mereka bersamaan.  
Kejadian Amin, Siti, dan Ishak ini membuat Pak Prapto berpikir sekaligus sadar bahwa:
- Dalam hidup ada banyak orang yang sering      menudingkan jari telunjuknya ke orang lain, dengan mudahnya dan sebegitu      cepatnya. Kebanyakan manusia ingin cari selamat sendiri, terutama      berhubungan dengan masalah-masalah yang berbau korupsi, manipulasi, gosip,      dan melemparkan kesalahan. Wah, manusia memang nomor satu untuk yang      begini ini. Dia yang salah, kamu yang salah, bukan SAYA! Mulailah manusia berlindung      di balik topeng kebaikan yang seolah miliknya…
- Ketika ditanya tentang suatu perbuatan baik,      banyak orang berusaha mengambil pujian itu bagi dirinya. Istilahnya ‘takes      the credit for himself.’ Biarpun bukan dia yang lakukan, inginnya terlihat      baik di muka umum, apa pun rela diakui (padahal banyak kali kebaikan itu      dibuat orang lain, tapi SAYA yang pasang muka waktu terima penghargaan).      Mungkin ibaratnya anak buah yang kerja setengah mati, bos yang hanya      ongkang-ongkang kaki hanya bilang: itu karya SAYA lho…(Tidak semua bos      begini sih,  pastinya ada bos-bos      yang baik juga:)). Yah, begitulah. Hidup dan kehidupan terkadang membuat      orang tanpa peduli mengambil pujian yang bukan haknya demi mempertahankan      gengsi, reputasi, terkadang demi sesuap nasi (plus semangkuk berlian      hahaha :)).
- Banyak kali orang akan mengakui bahwa      perbuatan itu dilakukannya, padahal sesungguhnya belum tentu, asalkan ada      imbalan yang sesuai dengan keinginannya. Misalnya seseorang yang mengakui      suatu tindak kriminal adalah perbuatannya padahal bukan dia pelakunya. Dia      lalu terpaksa harus mendekam di penjara, sementara yang melakukannya bebas      berkeliaran di luaran dengan kompensasi keluarganya dibiayai setiap      bulannya. Masih ada saja orang-orang yang mau atau merelakan diri untuk      melakukan hal-hal semacam ini.
Pak Prapto tersadar dari renungan singkatnya itu, lalu kembali berkata:
“Kalau begitu, kalau tidak ada yang mau mengaku secara jujur... Kalian semua tinggal di ruang guru sampai jam 
(Sementara waktu baru menunjukkan pukul dua belas siang. Jadi, sementara teman-teman mereka pulang jam 2, mereka harus ‘nongkrongin’ Pak Prapto di ruang guru sampai jam 
“Ah, tidakkk…!” Keluh mereka. Amin, Siti, dan Ishak nampak gelisah.
Tapi, tak satu pun menjawab jujur sampai detik ini. Pak Prapto menunggu dan menunggu. Dia kembali ke kelas 4 mengajar murid lainnya sampai jam 2 siang. Jam 2.10, dia kembali dan mendapati ketiga muridnya berdiri kelelahan. Mereka kena setrap akibat ulah mereka. 
Akhirnya, Ishak mengaku:
“ Saya yang mencontek, Pak. Saya tulis sebelumnya di meja kelas, lalu saya berikan kepada Amin dan Siti.”
Pak Prapto mengelus kepalanya perlahan:
“ Betul begitu? Bapak hanya inginkan kejujuran kalian. ”
Perlahan, Siti maju walaupun agak ragu-ragu, tetapi bicaranya cukup jelas:
“Saya yang duluan mencontek dan memberikannya pada Amin. Ishak sebetulnya tidak ikut-ikutan, Pak.”
“ Jadi, mana yang benar?” Tanya Pak Prapto.
“ Saya, Pak, “ jawab Siti lirih.
“Lalu, mengapa tadi kau mengakuinya, Ishak?” Tanya Pak Prapto lagi.
Ishak menjawab: 
“Saya harus pulang, Pak. Saya tak bisa menunggu terlalu lama sampai jam 
Pak Prapto terharu, kebaikan dari hati seorang anak kecil seperti ini menggugahnya. 
“Baiklah, kalian semua boleh pulang, dengan janji tak boleh mengulang kesalahan ini lagi. Siti dan Amin kalian harus menulis: SAYA TIDAK AKAN MENGULANGI HAL INI LAGI. Amin seratus kali. Siti dua ratus kali.
Dan Siti, kamu piket di kelas selama seminggu. Tiap pagi harus datang lebih awal dan pulang paling akhir setelah kelas bersih. Mengerti!” Kata Pak Prapto tegas.
Anak-anak itu bubar dari ruang guru. Tetapi, pelajaran kejujuran di dalamnya tetap menyala. Pelajaran dalam sekolah kehidupan pun menarik buat disimak.
Pak Prapto menghela nafas: “ Jadikan aku guru yang baik, guna membimbing akhlak mereka, Tuhan. “
HCMC, 7 Juni 2010
-fon-
sumber gambar:
 
bagusssssssssss
ReplyDelete:))
Fekhi: ma kasihhhh:)
ReplyDelete