Thursday, September 24, 2009

Terserah

Holland Village di hari Sabtu, 19 September 2009

Singapura diguyur hujan lebat. Setelah sebelumnya mendung menaungi langit di pagi itu dan membiaskan warna kelabu kehitaman di angkasa, akhirnya turun juga sang hujan. Keputusan saya dan suami untuk naik taksi di pagi itu terasa tepat, karena di tengah jalan hujan sudah mulai turun. Rintik-rintik terlebih dahulu lalu bertambah deras. Bahkan amat deras.

Sesudah menyelesaikan beberapa urusan di sana, kami tidak langsung pulang. Melainkan memutuskan untuk makan pagi dulu bersama anak kami. Setelah menikmati french toast with kaya , kopi plus iced-barley, kami bergegas ingin segera pulang. Karena ada perpisahan dari seorang Guard (penjaga) apartemen yang mau pensiun setelah 13 tahun bekerja di apartemen kami.

Di luar Bread Talk Holland Village, kami hendak menyetop taksi. Memang bukan di taxi stand , tapi karena hujan dan Holland Village ini agak open space yang tak terlindungi sehingga sulit bagi kami untuk menuju ke arah taxi stand dalam kondisi hujan lebat begini, akhirnya kami naik dari depan Bread Talk saja.

Di depan sana - antara pintu kaca Bread Talk dan jalanan dekat taksi yang berhenti- ada seseorang yang duduk di situ. Lengkap dengan kursi rodanya dan kotak besar dari kayu di tangannya. Di kotak itu terdiri dari banyak tissue bungkusan kecil. Sebungkusnya juga tidak tebal, paling sekitar 10 lembar. Di Singapura, banyak ditemui orang-orang yang terkadang suka memaksa kita untuk membeli tissue. Kebanyakan dari mereka memiliki ketidaksempurnaan fisik, seperti yang saya jumpai hari ini dengan kursi roda. Entah di foodcourt, entah di dekat stasiun MRT, atau seperti yang saya jumpai pagi itu, di depan sebuah tempat keramaian semacam Holland Village. Yang membuat agak kesal, ketika mereka mendatangi tempat duduk kita, tak mau pergi sampai mendapatkan uang. Biasanya mereka minta 1 SGD (Rp.7000) untuk 3 bungkus tissue. Dan terkadang rasanya agak kurang menyenangkan juga ketika hanya karena 1 dollar, membuat suasana kurang nyaman. Makan atau aktifitas lainnya sedikit terganggu.

Namun tidak dengan orang yang saya jumpai Sabtu lalu. Dia seorang laki-laki, mungkin berusia sekitar 30-an hampir mendekati 40. Atau jika tebakan saya meleset, dia ada di awal umur 40. Dia ketika saya katakan bahwa saya mau membeli tissue dan bertanya berapa harganya. Dia hanya menjawab satu kata, “Terserah.”

(Saya menerjemahkan percakapan kami dalam bahasa Mandarin)

Kata yang tak pernah terduga dalam diri saya, keluar dari mulutnya. Dia berserah dan terkesan pasrah ketika mengatakan hal tersebut. Sekaligus tidak menunjukkan keinginan untuk dikasihani. Saya agak terperanjat karena reaksinya berbeda dengan ‘penjual tissue’ pada umumnya. Dia memiliki sikap berserah di tengah segala keterbatasannya, walaupun hanya duduk di kursi roda.


Terserah Tuhan…

Ketika kita meminta sesuatu, kita mohonkan dengan begitu spesifik. Karena katanya, Tuhan senang melihat impian kita yang begitu spesifik. Namun di balik itu, ketika kita terus meminta kepada-Nya, kita cenderung menjadi orang-orang yang demanding. Orang-orang yang kerap kali menuntut agar Tuhan memenuhi permintaan saya dan Anda. Bak seorang anak kecil yang tak diberi mainan atau permen yang diinginkan, dia lalu berontak. Entah dengan mengguling-gulingkan badannya di lantai, entah dengan menangis, entah dengan terus rewel meminta kepada orang tuanya tanpa henti.

Apakah saya terlanjur seperti itu Tuhan? Kapankah saya pernah berkata, “ Terserah Tuhan, apa yang Tuhan beri, saya berusaha menyukainya?”

Tentunya saya terus berusaha untuk berjuang dalam hidup ini. Berusaha meraih impian dan cita-cita saya, berusaha menjadi terbaik yang saya bisa. Namun, dalam satu titik saya juga harus berkata, “ Terserah Tuhan. Apa pun itu, saya yakin, itu yang terbaik bagiku.”

Sering kali kita terkesan mengatur Tuhan sebagaimana yang kita inginkan. Kita panjatkan doa dan keinginan kita kepada-Nya, lalu meminta-Nya mengabulkan ASAP (as soon as possible). Lebih cepat, lebih baik. Kalau bisa detik itu juga. Tuhan kan Maha Kuasa, mengapa tidak? Kan tiada yang mustahil bagi-Nya. Kalau begitu, ayo dong Tuhan…Kabulkanlah doaku sekarang juga!

Apa yang kita ketahui bahwa Tuhan Maha Kuasa, Tuhan memungkinkan segalanya, terkadang membuat kita menjadikan hal-hal tersebut sebagai senjata untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Kita menjadi orang-orang yang selalu menuntut Tuhan untuk mengabulkan doa kita, tanpa pernah berkata: “ Terserah Tuhan, karena kuyakin ini yang terbaik bagiku.”

Terserah dalam hal ini bukan berarti tidak melakukan apa pun. Bukan berarti pula meningkatkan kemalasan dalam diri. Terserah yang saya maksudkan adalah menyerahkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan setelah semua yang terbaik sudah dilakukan.

Terserah bukan berarti cuek, terserah bukan berarti tidak bertanggung jawab. Justru ketika kita membebaskan Tuhan bekerja dalam diri kita, kita bisa melihat hasil karya-Nya yang luar biasa indah!

25 September, dini hari pukul 02.44 waktu Singapura

Hari ini ketika teringat bahwa Tuhan mengajarkan saya untuk kembali berserah lewat seorang penjual tissue di Holland Village Sabtu lalu, saya hanya bisa melakukan kilas balik atas apa sikap saya terhadap-Nya selama ini.

Ada kalanya saya tidak melakukan apa-apa, lalu berseru, “Terserah Tuhan deh, maunya apa…” Mungkin ini saya lakukan dengan luapan kekesalan. Karena sudah putus asa, sudah frustrasi dengan keadaan yang ada. Jadi saya pernah berseru demikian.

Ada saatnya pula, ketika saya tersenyum bahagia. Saya tahu apa yang saya mau, saya sudah mendapatkan apa yang saya mau, lalu saya ucapkan, “ Terserah Tuhan ke depannya nanti mau bagaimana. “

Contohnya: saya mendapatkan pekerjaan yang saya idam-idamkan, kenaikan gaji dan bonus yang amat bagus, lalu saya bersyukur dan berkata, “ Terima kasih Tuhan, ke depannya mau bagaimana, terserah Tuhan.” Dengan harapan bahwa itu semua akan terus meningkat dan kalau ada masalah di kemudian hari, tinggal complain lagi, “ Gimana sih, Tuhan???”

Namun, hari ini mudah-mudahan saya bisa berkata, “ Terserah Tuhan.” Dan ketika saya mengatakan hal tersebut, biarlah itu betul-betul merupakan ungkapan hati yang terdalam, karena saya sudah lakukan yang saya bisa (I’ve done my best). Sementara sisanya, saya membiarkan Tuhan sebebas-bebasnya untuk mempersiapkan hari depan saya…I’ll let God do the rest.

Terserah Tuhan… Tuhan tahu apa yang terbaik bagi seluruh umat manusia. Termasuk saya. Termasuk Anda juga. Terserah deh, Tuhan. Saya percaya rencana-Mu yang terbaik bagiku. Amin.

Singapore, 25 September 2009

-fon-

2 comments:

  1. Always do your best, and let God do the rest ..... very nice reflection, Fon

    ReplyDelete
  2. thanks, Toing Cantik...Intan kan ya...? GBU...let God do the rest:)

    ReplyDelete