Kos-kosan campuran, bukan ide yang sebetulnya kuinginkan. Maunya sih kos putri atau putra, begitu. Bukan kos-kosan semacam ini, tetapi harus diakui tambah lama tambah sulit mencari yang khusus begitu. Apalagi bagi mereka yang sudah bekerja seperti aku.
Kulangkahkan kakiku agak ragu. Plang kos-kosan di Jalan Yuk Nulis no.1001 itu bertuliskan: terima kos.
Aku diterima Ibu Kos yang gambarannya jauh dari suasana modern kos-kosan. Ibu kosnya pakai kebaya, sanggulan pula. Mengingatkan pada suasana losmen di TV dulu. Namanya Bu Lini. Dia lebih suka dipanggil Bu kos. Tampangnya agak menyelidik, tapi senyum ramah. Termasuk tipe ceplas-ceplos, walaupun tidak selalu cengengesan. Maklum, jaga wibawa dong, ‘
“ Kamar di kos-kosan ini ada seratus, yang terisi sekarang ada delapan puluh. “ Begitu ujarnya.
“ Baik, Bu. Banyak yang kosong ya, kalau begitu?” Tanyaku.
“ Iya, ‘
“ Sebulan berapa Bu, sewanya?” tanyaku lagi.
“ Tergantung ukuran berapa yang kamu mau. Kalau ukuran 3x4, harganya lebih mahal sedikit dari yang umum. Ibu tidak suka pasang harga tinggi, biar anak-anak pada betah.” Kulihat ketulusannya lagi.
“ Baik, Bu. Saya ambil yang ukuran 3x4, karena saya suka kamar yang lebih besar. Saya suka rumah ini, waluapun saya belum lihat kamarnya, tapi saya mau kos di sini. Saya masuk hari Jumat malam ya, Bu.” Agak panjang penjelasanku kali ini.
Dia hanya mengangguk dan tersenyum, “ Silakan, kapan saja, saya terima.”
Jumat itu kumasuki rumah kos itu. Tak pernah kutahu petualangan macam apa yang kujumpai di
Yuk Nulis 1001, Sabtu pagi.
Karena aku tak bawa banyak barang, hanya kubongkar satu koperku itu saja. Setelah itu mulailah kupasang seprai bermotif kotak-kotak warna kuning, sarung bantal dan selimut mulai kutaruh sejak semalam. Dan di atas tempat tidur baruku aku tidur. Meja tulis kecil tersedia di sudut kamar. Warna cokelat tua dan kursi juga dari kayu masih dengan nuansa warna yang sama. Juga ada lemari pakaian dengan nuansa cokelat tua pula. Senada.
Matahari pagi sudah bersinar agak tinggi. Aku biasa membiarkan diriku bermalas-malasan sejenak. Walaupun itu sudah jam sembilan pagi.
Kuangkat tubuhku perlahan. Menuju deretan toilet yang terletak di ruang tengah kos-kosan berlantai tiga ini. Di tiap lantai, di tengahnya adalah toilet yang bisa dipakai umum. Jumlahnya di tiap lantai ada 8. Memang kami masih sama-sama ‘share’ toilet. Tidak ada kamar mandi di dalam.
Ketika kubawa perlengkapan mandiku. Kujumpai orang pertama yang mengajakku berkenalan di kos ini. Wajahnya masih ngantuk, sama seperti wajahku. Berusaha tersenyum, dengan sedikit jenggot di dagu.
“ Mbak, baru di sini?” tanyanya.
“ Iya, “ jawabku. “ Kamu sudah lama di sini?”
“ Sudah setahun. Kenalin, Mbak, namaku Ode. Pekerjaan: musisi yang suka bantu-bantu juga di anak-anak jalanan.” Penjelasan cukup panjang buat perkenalan awal.
“ Wah, bagus dong! Sudah musisi, anak jalanan pula! Senang berkenalan dengan Anda. Saya Fonny, penghuni kamar no. 214 di lantai dua ini. Baru semalam pindah ke mari.” Antusiasme dirinya menular ke aku. Kantukku menguap entah ke mana. Aku jadi semangat. Menggosok gigi, mencuci muka, sambil ingin melanjutkan cerita.
Setelah aku menoleh ke wastafel sebelah, Ode rupanya tertidur. Tangan yang satu memegang sikat gigi, tapi matanya terkatup dan dia tidur. Gile ni anak, ujarku dalam hati. Bisa ya, tidur sambil sikat gigi…?
Kulanjutkan dengan mandi. Tak kulihat lagi Ode di
Aku menunduk pula, membantunya mengumpulkan shampo, sikat gigi, dan sabunnya. Sementara dia sibuk dengan sabun mukanya dan ‘conditioner’-nya.
” Kalau jalan lihat-lihat ya. Mbak baru ya di sini?” Ujarnya dengan nada datar. Tidak marah seperti tadi lagi.
“ Iya, saya baru. Saya Fonny, kamar 214. Kamu siapa?” tanyaku.
“ Saya Imelda. Kamar 225. Ok deh, kalau begitu selamat datang di kos-kosan ini.”
Imelda berlalu dan setidaknya aku sudah punya dua kenalan di kos ini.
Ruang tamu alias ruang kumpul-kumpul, Yuk Nulis 1001.
Kulihat Ode mulai mengenjrang-genjrengkan gitarnya. Lagu-lagu bernuansa ‘rock’ mengalir dari petikan gitarnya. Suaranya lumayan. Sementara di sebelahnya, kulihat seorang perempuan berkaca mata, berambut panjang. Dia menyanyi dengan suara yang bagus. Sejenak terkesima, aku diam di anak tangga. Sambil perlahan menuruni satu demi satu anak tangga itu, aku bergabung dengan mereka di lantai 1. Ruang tamu yang cukup luas, berpadu dengan teras yang asri di hadapannya. Kalau bosan di dalam, tinggal ke luar rumah. Masih bisa duduk-duduk di teras. Wuih, asik juga.
Ode menghentikan lagunya. Dari ‘Guns and Roses’ yang berjudul: ‘Don’t Cry’. Sementara yang menyanyi juga berhenti. Mereka memandang ke arahku.
“ Ci Fem, ini nih anak baru kos kita. Namanya Fonny.” Jelas Udo kepada seseorang yang dipanggil Ci Fem.
Dia menoleh, tersenyum, dan bilang, “ Namaku Femi.”
Ooh, Femi tokh.
Jadi baru sehari aku sudah kenal Femi, Ode, dan Imelda. Tidak jelek buat permulaan, lagian sepertinya mereka ramah-ramah jadi mudah bagiku untuk masuk ke mereka.
Perlahan mulai bergabung beberapa anak yang lain. Ada Mbak Ratna yang anggun, Udo yang penyiar di Radio Krik Krik dan bertugas mengulas puisi-puisi setiap malam, Feli yang meramaikan suasana, Angel yang sensitif dan halus.
Nampaknya petualangan ini takkan sepi, deh…! Yakin aku:)
Karena kelewat berisik, seseorang yang dianggap tegas di kos-kosan menegur kami. “ Nyanyi boleh, ketawa gak dilarang, tapi kalau kekencengan mengganggu orang lain.” Begitu katanya…
“ Psssttt, baik Mbak Hen!” Jawab mereka bersama.
Aku menoleh ke Olvy, yang juga baru bergabung ke ruang tamu.
“ Siapa dia, Lyv? “ tanyaku.
“ Ituuu, yang dianggap berwibawa dan dituakan di sini. Mbak Henny. Dia kerjanya di bidang pendidikan. Beberapa anak malah iseng mengistilahkannya dengan satpam. Kejam, ya?” Jelas Olvy padaku. Olyv asal
“ Oh, begitu ya, ” kataku.
Dalam hatiku bilang macam-macam juga yang ngekos di sini. Maklum kamar seratus, yang ngekos delapan puluh, pastinya macam-macam juga rupanya.
Ada Cie Hanna yang kerja di bidang makanan dan hobbynya masak di kos-kosan. Femi kuketahui kerja di bidang ‘Advertising’. Dan ada Cie Grace yang ternyata seorang pekerja di bidang legal di perusahaannya.
Macam-macam saja yang kujumpai. Lucu-lucu, antik, ah…susahlah dilukiskan dengan kata-kata :)
Tiga bulan berikutnya…
Aku bukan lagi anak baru. Karena sesudahku berdatangan anak-anak kos baru lainnya, yang memenuhi kos-kosan kami. Ibu kos masih berkebaya dan kainnya. Walaupun sesekali, kulihat dia mengenakan celana jeans dan kaos ungu. Gak kebaya, gak kaos, semua ungu…Memang sukanya begitu kayaknya…
Hari-hari itu semakin kutunggu. Hari Sabtu, tempat kami bercengkerama, saling tertawa. Dan sesekali, kehadiran Tukang Kebun memperindah suasana kos dengan menggunting cabang dan membentuk pohon sehingga halaman depan tetap asri. Jadinya tambah betah.
Imel yang kadang tidak bisa ikutan kalau kami kumpul atau sekadar makan siang keluar. Maklum, dia bertugas sebagai dokter yang kerjanya pakai ‘shift’ jadi tak selalu bisa ikutan.
Kali ini, bercanda kami keterlaluan. Entah mulai dari mana, semua pada membuat kacau dan membalikkan kursi di ruang tamu. Kursi-kursi sederhana itu jadi terbalik dan membuat berisik. Mungkin dari Ode atau Udo, ah entahlah, tapi semua ikutan heboh. (Belakangan baru kuketahui, Ode dan Udo saling mendorong dan menjatuhkan kursi-kursi itu. Maksudnya bercanda, tapi karena Ode mainnya fisik dan bilang kalau Udo mirip salah satu pelawak Srimulat, Udo jadi marah. Begitulah kira-kira:)).
Mbak Henny sudah mendelik, Ibu kos tiba-tiba turun langsung kali ini pakai celana pendek ‘sporty’ dan kaos ungu ‘you can see’. Dan bu kos berteriak, “ Awas ya, kalau berisik. Tak lempar siwur, lho!”
Mbak Henny mendukung, “ Sudah lempar saja!”
Kami lalu diam. Dan membalikkan kursi-kursi segera ke tempat semula.
Bu kos masih menatap marah dan berkata, “ Lain kali kalau begini lagi, awas ya!”
Jarang-jarang dia ngancam. Yang pasti, satu per satu mulai ngacir, pergi. Menuju warung bakso Cak Eko di sebelah. Warung yang jadi tempat curhat, pelarian dari kesumpekan kamar kos, dan tempat bergosip juga…
Tak lama, cekikikan kami terhenti. Karena???
Bu kos dan Mbak Henny mampir juga ke Bakso Cak Eko…Wuaaaa, gak asik banget dehhh…!
Anehnya, setelah kasak-kusuk dengan Cak Eko, tak lama Bu kos jadi senyum-senyum sendiri. Bareng Mbak Henny sih yang ‘hopeng’ alias teman baiknya Bu Kos.
Karena semua mata tertuju pada mereka. Cak Eko yang menengahi dan bilang. “Hari ini Bu Kos Lini ulang tahun, semua makanan dan minuman ditraktir. Gratis!”
“ Cihui! Selamat ultah bu kosss…Asyik, ditraktir… Ma kasih yaaa:)” Kami berteriak sekaligus.
Dan Ode mulai ngegitar lagi, Femi dan aku? Menyanyi. Selamat ulang tahun, Bu Kos… Ditambah Imel yang baru aja pulang, menari-nari buat semuanya. Bak ‘So You Think You Can Dance’ …Wuahhh, tempat kos seperti ini, di mana adaaaaa? Gak mau pindahhhh:)
Memang kos di YN 1001, ketemu 1001 orang dengan macam-macam gayanya. Hidup jadi berwarna….Ciyeeee:)
HCMC,
-fon-
* khusus buat anak-anak YN. Kalau ada yang belum masuk jadi daftar pemeran, ditunggu aja kalau dibikin kelanjutannya xixixi…Lap u pul:)
wekekek
ReplyDeletegue ngakak sendiri Foonn..
lap yu puull :D