‘After arguing for quite sometime, this is the season finale of my story: me vs high heels. ‘
Ciaileee, bahasanya…. Kagak nahan! Wakakaka…
Setelah sekian lama berteman dengan sepatu atau sandal berhak tinggi, saya pun berhak memutuskan untuk tidak menyambung lagi pertemanan itu. Awalnya saya masih berusaha menjaga hubungan baik itu, namun apa daya akhirnya kami harus berpisah jua. Tak tahu pasti untuk berapa lama. Mungkin sebulan, setahun, atau dua tahun. Mungkin juga selamanya. Setelah telapak kaki saya mengalami kondisi yang aduh mak menyeramkannya. (Mending tidak dijelaskan di sini, daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan hihihi…).
‘Eniwei, buswei,’ yah beginilah. High heels? Yuk daag daag bye-bye…
Alhasil setelah mendengarkan banyak masukan sana-sini. Saya mencoba satu merek sandal terkemuka buatan Jerman. Sandal B ini diyakini memperbaiki kontur kaki. Dan harganya cukup lumayan buat kantong Ibu Rumah Tangga yang tidak bekerja seperti saya. Lumayan mahal maksudnya:). Namun apa daya, demi kesehatan kaki dan telapak kaki saya yang konon kabarnya merupakan surga bagi anak saya, saya harus mengenakannya juga.
Akhirnya, setelah mendapatkan Sandal B yang dimaksud, saya pun mulai memakainya. Konon kabarnya-kata teman saya- bagi yang punya kaki berjenis ‘flat foot’, perlu waktu setidaknya 2-3 minggu untuk merasa nyaman memakai sandal tersebut. Awalnya pastinya merasa sakit. Bahkan sakit sekali bagi beberapa orang.
Saya pribadi karena tidak memiliki problem ‘flat foot’ kecuali perut aja yang ‘flat’ ('ih boong banget deh' hehehe), pastinya tidak mengalami permasalahan yang begitu menyulitkan saya. Awalnya, dua-tiga hari pertama. Sudah mau pingsan karena ‘pegel’ (hiperbola ‘mode on’). Sakit juga ya, ternyata. Saya masih butuh waktu untuk meyakinkan keampuhan Sandal B ini, namun di hari ketiga sakitnya sudah berkurang dan saya pun sudah mulai merasa nyaman dengan sandal ini.
Seperti biasa, insiprasi muncul dan timbul. Padahal awalnya hanya transisi dari ‘high heels’ ke sandal biasa bermerek B ini. Membenarkan posisi yang salah dari kaki saja butuh waktu dan menahan rasa sakit itu. Karena sesuatu yang sudah terlanjur salah, butuh proses untuk menjadikannya kembali ke jalan yang benar. Misalnya: dari sakit parah, perlu proses sekaligus hal-hal yang menyakitkan: diinfus, dioperasi, disuntik, ditusuk jarum, dll agar kembali seperti sedia kala.
Sama halnya (walaupun beda prosesnya) dengan sakit hati. Ketika ada sesuatu yang salah di hati, ketika ada kemarahan terselubung yang belum diungkapkan dan tinggal tunggu meledak. Ketika banyak kekecewaan yang berusaha dikubur dan merasa sok kuat. Ketika banyak kesalahan dalam meng-handle emosi dalam diri yang negatif. Kuatir, kecewa, marah, iri, dengki, dan sahabat-sahabat dekat mereka. Perlu proses, perlu waktu, dan bukannya tidak mungkin merasa sakit yang sangat untuk bisa sembuh. Contohnya, dalam sesi retret luka batin yang pernah saya ikuti. Peserta malah diajak kembali ke pengalaman yang paling menyakitkan itu dan kemudian melihat dengan berani ke kejadian itu sambil melihat bahwa ada Tuhan yang menemani di
‘Eniwei’, nih sandal sudah membawaku melanglang buana dalam alam pemikiran yang timbul seketika. Membenarkan yang salah perlu proses. Bagi sebagian yang melakukan tindakan kejahatan, perlu proses masuk ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) buat kembali disadarkan (idealnya LP-nya benar sehingga membimbing ke arah yang benar, walaupun pada kenyataannya belum tentu ya…).
Dan ketika menghadapi diri kita yang salah. Entah salah langkah, salah bersikap, salah ambil keputusan, salah memilih teman, salah memilih pacar, dan salah-salah yang lain yang membuat kita bertanya: “ Salahkah aku bila kiniii…” (Titi DJ masih dominan di kepalaku ternyata hehehe). Pastinya, kita harus bersabar. Karena tindakan mengoreksi yang salah itu perlu waktu, perlu proses yang terkadang menyakitkan, namun semoga hasilnya di kemudian hari kita belajar sesuatu dari situ. Jadi manusia, salah itu biasa. Yang tidak biasa adalah bangkit dari sikap menyalah-nyalahkan diri sendiri atau membodoh-bodohi diri dan berharap punya mesin waktu buat mengulang segalanya kembali. Ini saatnya untuk bangkit dan berdiri menatap masa depan yang cerah ceria.
Sandal B, terima kasih. Moga-moga kita bisa jadi BFF (Best Friends Forever wakakak…). Kalau tidak, anggap saja saya pernah salah dan akan mengambil keputusan lain yang semoga lebih baik.
Demikianlah ‘season finale’ saya dengan ‘high heels’ dan saya menyambut ‘premiere’ saya dengan Sandal B. Sekian laporan pandangan mata dari Saigon a.k.a Ho Chi Minh City yang panasnya luar biasa di siang ini. Saya undur diri, permisiiii…:)
HCMC,
-fon-
* Bukan promosi lho, wong keampuhannya belum saya buktikan sendiri hehehe…
Sumber gambar:
http://www.cloggs.co.uk/content/ebiz/cloggs/invt/2723/birkenstock-arizona-wht-m.jpg
hoh?
ReplyDeleteaku dah tinggalin high heels sejak merit hihihi... tapi dulu juga pakek high heels kalau ketemu org doang, nanti nyampe kantor, ganti sendal hahaha
waktu di Spore masih nyoba2 pake, ato yang tinggi tapi rata geto hahaha... Tapi sekarang bener2 nyerah Fem:) xixixi...
ReplyDelete