*** Episode: Willem
Previously on Thank God I Found You…
Evita yang sudah amat jenuh dengan kehidupan cintanya yang terombang-ambing dengan
Willem
Aku melangkah ringan menuju ke rumahku. Senangnya, akhirnya impianku tercapai juga, yang melamarku Jason dan bukan Willem. Satu sisi, jujurnya, terselip kekuatiran juga. Apa benar Jason sungguhan sudah pisah dari Susi? Ah, aku juga harus mengecek kebenarannya. Kutepuk jidatku sendiri, aku terlalu cepat senang dan seolah lamaran Jason membebaskanku dari Willem. Padahal, kebenarannya tentunya perlu kuketahui lebih lanjut. Bukan hanya sekadar ucapan belaka. Hati yang sakit ini sebetulnya butuh waktu untuk lega kembali. Walaupun tak kupungkiri hanya Jason yang terpikir di kepalaku saat ini jika harus menikah suatu hari nanti. Bukan Willem. Atau pria-pria lainnya.
Kubuka pintu pagar warna hijau tua. Warna kesukaan Mama. Setidaknya kali ini aku pulang dengan kepastian bahwa Jason dan aku akan melanjutkan hubungan kami. Dan itu jadi alasan terbaik untuk bebas dari Willem yang entah seperti kesambet apa datang tiba-tiba melamarku. Kacau!
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 malam. Mama masih duduk di ruang tamu menemani Willem. Jantungku berdegup, emosi. Gila ini anak, mau apa lagi sih?
“ Vit, Willem dari tadi menunggu kamu. Papa, Mama, dan adiknya pulang terlebih dahulu. Tetapi Willem masih ngotot menunggu kamu. Mau bicara sama kamu katanya. Kalau tidak ketemu kamu, rasanya kurang afdol katanya. Sudah ah, Mama tinggal dulu. Kalian ngobrol saja. Kebetulan besok ‘
“ Will, sebetulnya kita sudah lama betul tidak kontak. Mungkin ada sekitar tiga tahunan ya… SMS atau telepon pun tak pernah. Email apalagi. Aku jujurnya bingung, mengapa kamu datang tanpa berita lalu langsung melamarku begini? Apa kau pernah mempertimbangkan perasaanku?” Tanyaku.
Willem menelan ludah, meneguk teh yang sudah tidak hangat lagi karena menungguku terlalu lama, berusaha menenangkan dirinya sebelum bicara:
“ Aku tahu, Vit, yang aku lakukan pastinya mengejutkan dirimu. Satu sisi aku juga berpikir, kamu pasti akan kaget setengah mati dan mungkin sekali marah padaku. Tapi, aku mau kaudengar dulu penjelasanku. Aku memang masih cinta padamu. Waktu tiga tahun tak mampu membunuh rasa cintaku padamu. Malah cinta itu makin berkembang dalam hatiku. Aku pernah menjalani hubungan dengan wanita lain, tiga orang, berharap aku bisa melupakanmu dan menggantikan dirimu dengan mereka. Namun, aku gagal. Semakin aku ingin melupakanmu, semakin bayanganmu begitu kuat mengikutiku…”
Aku diam. Tak menyangka kalau efek cinta kami bisa berlanjut begitu lama dan dalam terhadap Willem. Aku sendiri tidak menempatkannya pada prioritasku. Mungkin perasaanku yang paling dalam sebetulnya telah kujatuhkan pada Joko, sebelum dia raib, hilang dari hidupku karena kecelakaan yang merenggut kedua kakinya itu. Aku sendiri sudah mulai melupakan Joko dengan hadirnya Jason, sedangkan Willem? Tak pernah dia ada dalam benakku kecuali sebagai seorang sahabat.
Willem kembali meneguk tehnya. Kelihatan sekali dia sebetulnya sulit bicara karena gugupnya. Namun, dia mengumpulkan semua nyalinya untuk kembali menjelaskan padaku:
“ Belum lama ini, Papaku terdeteksi penyakit kanker otak, Vit. Dan keinginan Papa yang terbesar sebelum ia meninggal karena vonis dokter dia hanya bisa hidup dua tahun lagi adalah ingin melihatku menikah. Dan kalau mungkin menimang cucu dari perkawinanku. Aku pun sudah terbilang tua, sudah 40 tahun, ya koq belum kawin-kawin juga?”
Willem mencoba mencairkan suasana dengan leluconnya. Lelucon yang seolah dipaksakan. Karena sebetulnya kulihat kegetiran yang mengintip perlahan dari sudut matanya, ketika dia ucapkan hal itu. Siapa yang tidak ingin menikah? Willem pastinya ingin juga.. Tapi sampai umur 40 belum dapat jodoh juga, apa salah? Seperti aku, usia 38 belum juga menikah…Will, untuk hal ini, kita senasib…
“ Baik, Will. Aku sudah dengar semua penjelasanmu. Aku mengerti, Papamu adalah sosok yang paling kauangggap penting dalam hidupmu. Memenuhi keinginannya adalah yang terpenting bagimu. Namun, secara jujur aku juga katakan, aku sudah punya seseorang yang kucintai. Dan kami berencana untuk menikah dalam waktu dekat ini. Maaf, Will, aku tak bisa memenuhi permintaanmu. Walaupun aku amat kasihan dengan kondisi Papamu. Maafkan aku,” aku mencoba memegang bahunya. Mencoba menguatkan dirinya walaupun aku sendiri tak yakin kelangsungan hubunganku dengan Jason karena memang masih banyak masalah yang harus kami selesaikan sebelum kami menikah, tapi aku tetap mau melangkah bersamanya. Kejadian-kejadian ini, Susi-Willem, walaupun membuahkan keperihan di hati, tapi tak membuatku padam rasa pada Jason. Malah semakin kuat rasa itu tertancap dalam-dalam, di hatiku.
Tiba-tiba Willem memberontak, tak mau kusentuh. Malah dia memegang bahuku kencang-kencang dan berkata, “ Kalau kamu tidak kawin sama aku, kamu tidak boleh kawin sama siapa pun! Kamu hanya milikku. Milikku seorang, Vita! Tak seorang pun boleh menjamahmu kecuali aku.”
“ Will, lepaskan aku! Sakit, Will! Cengkeramanmu terlalu keras bagiku. Dan sadarkah kamu kalau kau ada di rumahku? Ini wilayahku dan bukan teritorimu. Jangan berani kurang ajar kamu!” Teriakku kencang.
Dan teriakan itu membuat Mama, Papa, dan Vino, adikku keluar dari kamar. Vino melihat Will masih mencengkeramku walau tidak sekuat tadi, langsung ambil tindakan.
“ Pergi, loe! Jangan sampai gue pukul loe!” Dia menghampiri Willem dan mencengkeram kerah bajunya sambil mengacungkan tinjunya.
“ Sudah, Vin…Sudah! Lepaskan dia. Pergi, Will. Maaf, kita tak mungkin bersatu. Bagaimana mungkin kita bersama, kalau begini saja kau sudah menyakitiku?” Tanyaku tegas.
“ Baik, Vit. Aku pergi. Tapi bukan berarti aku takkan kembali lagi. Siap-siap kamu!” Ucapnya masih terbakar emosi.
“ Keluar loe, masih mau nyoba cari masalah loe!” Vino adikku kembali tampak emosi. Diacungkannya telunjuknya ke arah pintu. Mengusir Willem.
“ Vin…!” Aku hanya menyebut namanya dan menatapnya tegas. Sambil menggelengkan kepala. Tidak perlu lagi bicara. Dia sudah mengerti.
Willem akhirnya keluar dari rumahku. Dengan wajah yang tidak rela. Tapi dia juga tahu bahwa aku takkan mau mengikuti keinginannya. Daripada sama dia yang tiba-tiba menggila begini, mending aku sendiri saja…Daripada keselamatanku terancam, daripada aku harus mengikuti cemburu butanya. Huffft, aku menghela nafas lega. Akhirnya dia pergi juga.
Bergegas beranjak ke kamar, aku ditegur Papa dan Mama.
“ Vita, kamu jadinya gimana? Menolak Willem? Lalu….” Tanya Mama.
“ Apa Mama mau aku sama dia, sedangkan lihat dia kayak gitu saja sudah membuatku ketakutan? Aku menolak dia, Ma. Aku mungkin kembali lagi sama Jason, tapi kami harus bicara lebih banyak soal dia dan aku. Nanti aku kasih tahu Mama dan Papa lagi.” Jawabku pelan.
Kupeluk adikku, Vino.
“ Untung ada kamu. Gak percuma fitness seminggu
Vino mengelus rambutku. Pelan, lama-lama semakin kasar, seperti biasa dia mempermainkan aku. Kutepuk punggungnya,
“ Udah, Vin..Tidur yukkkk… Mama, Papa, bobok yaaa.” Aku menghilang naik ke lantai dua, menuju kamarku.
Kamar biru. Kamarku…
Dari dulu, aku selalu suka warna biru. Ketika mama bilang mau mendisain kamar ini sesuai keinginanku, langsung saja aku minta dicat biru muda. Warna kegemaranku.
Aku berbaring di tempat tidur. ‘After the whole drama’ yang bikin pusing kepala. Aku mau memejamkan mata barang sejenak. Baru kurang dari
“ Vit, mama masuk RS lagi. “ Suara Jason di seberang
“ Di mana? “ Tanyaku.
“ RS Jantung Harapan Kita lagi.” Jawabnya singkat.
“ Aku datang, ya?” Ujarku.
“ Gak usah, gak pa-pa. Besok pagi aja kalau kamu capek.” Ujar Jason lagi.
“ Gak pa-pa, aku minta antar Vino. Aku pergi sekarang.” Jawabku lagi.
Setelah izin Papa dan Mama, Vino menyetir mobil Papa, Kijang Innova ‘silver’ itu dengan agak ngebut. Untungnya dari rumah kami yang di kawasan Kebon Jeruk, ke daerah Slipi
Setengah berlari, kuhampiri Jason di ruang UGD. Vino sudah langsung pulang. Ngantuk katanya. Besok pagi mau fitness juga dia. Langkahku terhenti, ketika kulihat Susi memegang tangan Jason dan berusaha menenangkannya:
“ Jason, Mamamu bakal pulih seperti sedia kala. Tenang, ya…”
Kubalikkan badanku dan kuputuskan untuk pulang dan mencegat taksi yang ada di jalan. Tak sudi kulihat kemesraan mereka. Tiba-tiba lukaku menganga lagi, sakit itu menghujam lagi sampai ke ulu hatiku. Duh, sakitnyaaa…
Dan tiba-tiba aku menyesali kebodohanku. Terlalu cepat aku percaya padanya. Apa mungkin itu efek samping cinta yang terlalu besar?
Ah, Vita, kuatkan dirimu… Walaupun sudah habis babak belur ditonjok kiri-kanan dalam menjalani hidup cintamu. Kuat ya…Kuhibur diriku sendiri, kucoba untuk tidak menangis apalagi di depan mereka. Sampai taksi atau sampai rumah saja…
Baru melangkah sepuluh langkah. Jason menghentikan langkahku. Dia memegang lenganku.
“ Kenapa lari?” Tanyanya.
“ Aku …Aku gak mau mengganggu kamu…” Isakku pelan. Air mata mulai turun perlahan.
Jason menghapus air mataku.
“ Kamu gak mengganggu. Dia yang mengganggu kita. Dia yang mengganggu ibuku dan Mama pingsan gara-gara dia datang dan entah ngomong apa lagi.
“ Di mana dia sekarang?” Tanyaku lagi.
“ Aku sudah suruh dia pulang. Gak tau dia ke mana sekarang. Aku sudah marah sekali sama dia.” Wajah Jason jadi emosi lagi.
Apalagi ketika Susi kembali datang dan melambaikan tangannya, “ Besok aku datang lagi yaaa…”
“ Gak perlu dan gak butuh!” Ucap Jason keras.
“ Nanti kamu menyesal, lho kehilangan aku, “ Susi masih senyum-senyum centil tak karuan. Dan memang tampangnya betul-betul ‘nyebelin plus ngeselin.’
“ Daaggg Jason….Daaggg Vita…Yuk, byeee!”
Bersambung…
HCMC,
-fon-
* ‘Thank God I Found You’ akan kembali lagi sekitar minggu depan. Rencananya akan jadi posting tetap mingguan, kecuali ada inspirasi yang lebih cepat datangnya. Mohon sabar menanti:)
Sumber gambar:
http://images.buycostumes.
No comments:
Post a Comment