Friday, April 16, 2010

‘Thank God I Found You’



*** Cerpen

I would give up everything
Before I'd separate myself from you
After so much suffering
I've finally found a man that's true
I was all by myself for the longest time
So cold inside
And the hurt from the heart it would not subside
I felt like dying
Until you saved my life

Chorus

Thank God I found you
I was lost without you
My every wish and every dream
Somehow became reality
When you brought the sunlight
Completed my whole life
I'm overwhelmed with gratitude
Cause baby I'm so thankful
I found you

“Itu tadi tembang lawas dari Mariah Carey yang berkolaborasi dengan Joe, ‘featuring’ juga ‘boyband 98 degrees’, menjadikan tembang ini kaya akan warna tapi tetep aja gak ngebosenin buat disimak, “ suara penyiar Radio ‘Moonlight’ kesayanganku mulai menggema di kamarku. Menyenangkan mendengar lagu-lagu manis semacam ini, apalagi kalau suasana hatiku tepat sekali saat ini.


Yup! Betul sekali!

Setelah sekian lama menantikan pangeran dalam hidupku. Yang tak hanya berkuda putih, namun bersemangat baja… Ah, aku terlalu bahagia sehingga terlalu berlebihan dalam mengungkapkan segala sesuatunya. Aku memang tengah jatuh cinta dan aku serius! Aku hendak menikah dengannya. Umm, maksudku, ingin kuhabiskan seluruh sisa usiaku hanya bersamanya.

Setelah sekian lama diombang-ambingkan dalam perahu asmara yang tak tentu arah, akhirnya…Ya, akhirnya aku bisa berlabuh juga. Pacar-pacarku sebelumnya ada lima. Bukan, ini bukan cerita soal balonku yang merah kuning hijau itu… Sungguhan, pacarku ada lima!

Pertama: Ervan.

Ervan hanya bertahan dalam relasi kami hanya dalam hitungan bulan. Dua bulan, Ervan kepincut mahasiswi yang diajarnya sendiri. Menyisakan diriku yang gigit jari. Huh, menyakitkan! Waktu jualah yang menyembuhkanku, membuatku bertahan dan berjalan dalam kehidupan.

Kedua: Willem.

Willem dan aku saling cinta. Namun seperti film Romeo dan Juliet, kami tidak disetujui keluarga kami yang berseteru. Upaya kami mendamaikan, mulai dari jalur normal sampai ‘backstreet’ kami lakukan. Apa daya, tak berhasil jua. Akhirnya, kami tak punya nyali untuk melanjutkan hubungan yang tak tentu arah semacam ini. Kami berpisah baik-baik, berpelukan sebagai seorang sahabat, dan melambaikan tangan perpisahan.

Ketiga: Joko.

Aku menemukan hal yang berbeda dengan Joko dibandingkan pacar-pacarku sebelumnya. Joko memang berbeda. Karena kami beda suku, beda agama. Aku keturunan Cina, sementara dia asal Jawa. Aku beragama Katolik, sementara dia Islam tulen. Herannya kami menikmati perbedaan ini, karena bagi kami perbedaan itu bukanlah untuk diumbar, tetapi justru malah memperkaya kami berdua. Ironisnya, di saat cintaku makin dalam, Joko ditimpa kemalangan. Dia kecelakaan saat naik motor, kakinya harus dikorbankan. Joko menghilang dalam gelapnya malam. Segelap perasaanku yang ditinggal pergi tanpa berita, hanya sepucuk surat yang berbunyi:

“Vit, aku harap kamu menemukan penggantiku yang lebih sesuai. Aku pergi. Joko.”

Butuh tiga minggu untuk mengeringkan air mataku. Butuh setahun untuk bangkit lagi dari keterpurukanku karena ditinggal pergi Joko. Jujurnya, sampai hari ini aku masih tak mengerti, mengapa dia meninggalkanku seperti itu. Maksudku, masih sulit bagiku menerima hal itu. Tetapi kutemukan kembali sosok yang berbeda, pria-pria yang memenuhi kebutuhan emosiku. Karena aku butuh dicintai secara utuh dan apa adanya.

Keempat: Irsan.

Irsan awalnya sangat romantis, baik, dan penuh perhatian. Sepeninggal Joko, aku menutup diri. Agak keterlaluan memang, namun Irsan berhasil melelehkan gunung esku dan menjadikanku ceria kembali dalam hangatnya cinta yang dia tawarkan. Masalahnya, Irsan ternyata ‘playboy’ yang sering gonta-ganti pacar, sesering dia gonta-ganti handphone. Sesering dia gonta-ganti mobil buat pamer. Mungkin aku terlalu bodoh, mungkin aku terlalu naïf. Sudahlah, setiap orang sering berbuat salah, bukan? Irsan, kututup pintu hatiku untukmu. Aku tak sanggup punya pacar seperti kamuuu!

Kelima: Dwi.

Dwi Sartono. Teman SD-ku yang tiba-tiba muncul setelah pertemuan-pertemuan reuni via fesbuk yang menyatukan kami. Tak ada salahnya ketika aku mencoba menjajaki hubungan asmara dengan seorang teman lama, bagian dari masa laluku. Setidaknya kami punya banyak topik yang bisa kami perbincangkan bersama. Pada akhirnya, hubungan yang hanya berlangsung setahun itu menjadi hambar, tanpa kami ketahui mengapa. Mungkin ‘chemistry’ kami terlalu kuat di awalnya, namun tak berkembang ke arah cinta sejati. Hanya ‘chemistry’ yang jalan di tempat. Yang pasti senyawa-senyawa kimia cinta tak mampu membawa kami ke arah yang lebih tinggi. Akhirnya? Pisah saja. Tanpa sakit hati. Ikut reuni pun tak masalah, ketemuan juga tak mengapa, karena kami tak saling dendam. Hanya tidak ada kecocokan lagi saja.

Tahun-tahun berlalu.

Muak, bosan dengan semua relasi yang tak berujung bahagia, kuputuskan untuk menyendiri saja. Aku ikut tour ke luar negeri, dengan gaji yang aku kumpulkan selama ini. Aku pergi ke Hongkong, Macau, dan Singapura. Dengan harapan, aku mendapatkan pencerahan. Mungkin aku bisa menemukan makna hidupku di dunia ini. Mungkin memang aku tak harus memiliki pasangan hidup seperti orang pada umumnya. Mungkin Tuhan berikan aku kesempatan untuk menyendiri saja. Tak harus menikah. Aku sempat meragukan panggilan hidupku sendiri. Akhirnya, aku pasrah. Kalau belum dapat mau bilang apa?

Sementara umurku sudah tidak muda lagi. Kalau di kampung, mungkin sudah punya anak umur belasan tahun atau cucu? Di usiaku yang ke-38 tahun ini, aku tak lagi memikirkan jodoh. Ada ya syukur, tidak juga (semoga) aku tidak sakit hati. Walaupun aku tahu bahwa aku amat ingin memiliki anak dan terselip kekuatiran bagaimana kalau aku tiba-tiba menopause dan tidak lagi memiliki kesempatan itu? Ah, kuatir…Janganlah kaucengkeram hari-hariku! Kutepis itu semua dan kuharapkan ketenangan saja dalam hidupku…

Aku lebih berserah. Lebih banyak ke tempat ibadah. Lebih sering ikut perkumpulan yang menguatkan imanku. Karena aku tahu, jalan sendirian di usia 38 ini bukanlah pekerjaan mudah. Kiri-kanan banyak omongan sumbang, banyak pria pula yang mencoba dekat walaupun mereka sudah beristri, dengan pikiran: mungkin perawan tua ini mau diajak coba-coba? Aku tak mengerti apa rencana Tuhan di balik ini semua. Ada kalanya aku pikir, aku sudah melakukan yang terbaik yang aku bisa di tiap relasi asmara yang terbina, namun ketika hasilnya tidak sesuai? Aku mau bilang apa?

Aku juga ikut kegiatan olahraga. Aku ikut pusat kebugaran, tetapi aku lebih banyak ikutan yoga karena bagiku yoga menenangkan pikiran dan membenahi untaian benang kusut di kepalaku.

Sampai suatu ketika…

Selesai pilates, aku bergegas pulang. Hujan deras mengguyur Jakarta.

Padahal aku ada janji dengan seorang sobatku di Plaza Senayan. Dari Plaza Semanggi, kutunggu di antrian taksi. Tak ada taksi, hujan begini, wajarlah semua orang berebut naik taksi.

Tak lama, ada sebuah taksi bergambar burung biru andalanku berhenti tepat di mukamu. Aku sudah amat senang! Ketika penumpangnya keluar dari taksi, tiba-tiba gerakku kalah cepat dibandingkan seorang pria yang menyeruak dari dalam mal. Aku tak mau kalah, aku juga masuk ke dalam taksi. Alhasil, kami berdua ada di taksi yang sama.

“ Bung, yang sopan dong! Antri!” Kataku tegas. Berusaha tidak sengit, namun tampaknya sulit di kondisi capek menunggu dan ‘rush’ ke pertemuan berikutnya dengan sahabatku.

“ Mbak, aku mohon maaf, tapi…aku butuh taksi ini segera karena aku mau ke rumah sakit di arah Slipi sana. Ibuku dirawat di sana,” ungkapnya sendu.

Hampir saja aku bertahan di dalam taksi, tanpa peduli. Tetapi melihat ketulusannya, tiba-tiba angkara murkaku berhenti seketika. Tak lagi melancarkan serangan-serangannya. Namanya emergensi. Gawat darurat, okelah kalau begitu…

“ Oke Bung, aku keluar dulu. Silakan pakai taksi ini. Dan aku menunggu taksi berikutnya.” Aku bergegas keluar setelah melemparkan senyumku. Tulus juga. Karena kulihat ketulusan di matanya.

Sebelum aku keluar, dia terlanjur memegang lenganku, cukup erat.

“ Mbak, kalau begitu, kita pakai taksi ini sama-sama saja. Nanti Mbak nunggunya lama lagi, “ katanya.

“ Tetapi sebetulnya kita tidak begitu sejalan dan Bung lebih urgen. Lebih perlu taksi ini daripada aku. Soal menunggu, memang akan lama sih, apa boleh buat.” Aku mengangkat kedua bahuku, tersenyum padanya sekali lagi.

“ Udah, Neng! Neng dan Mas berdua saya antar saja. Neng mau ke mana?” Pak Sopir yang dari tadi memantau percakapan kami memotong pembicaraan.

“ Saya mau ke Plaza Senayan, Pak. Saya terlambat sedikit gak apa-apa, Pak. Biar Mas ini duluan karena ibunya di Rumah Sakit,” ucapku pelan.

“ Baik, Neng!” Pak Sopir langsung tancap gas. Menembusi hujan dan kemacetan yang ditimbulkannya di Jakarta malam ini.

“ Nama Mbak, siapa? Aku Jason.” Ucapnya lembut diiringi senyuman dan uluran tangan.

“ Aku Evita. Panggilannya Vita,” kuulurkan tanganku pula.

Jason turun dari taksi bergegas menuju UGD, mamanya tiba-tiba terkena serangan jantung lagi. Hal yang sebetulnya sudah mulai terbiasa dihadapinya, karena sudah tiga kali dialaminya. Namun, tetap saja setiap kali kejadian begini, Jason mengatakan tak bisa menyembunyikan kegugupan dan ketakutannya, karena dia baru saja ditinggal pergi ayahnya setahun yang lalu.

Entah mengapa, aku jadi simpati padanya. Wajahnya lembut, walaupun tidak begitu ganteng. Kusadari pula di usiaku yang ke-38 ini, apa perlu aku mencari kegantengan? Sementara diriku juga bukanlah seorang wanita yang super cantik pula. Wajahku juga biasa-biasa saja. Walaupun aku sendiri menyukai bagian mataku yang kata sebagian orang ekspresif bak mata kucing.

Pertemuan malam itu dengan Santi, sahabat dari SMP-ku berlangsung heboh dan ceria seperti biasa. Santi selalu mampu membawa keceriaan. Santi selalu membuatku tertawa terbahak-bahak. Santi sama-sama ‘single’ seperti aku, tetapi dia sudah memutuskan untuk mau jadi ‘jomblo foreva’ katanya:)

Malamnya, tiba-tiba entah kenapa aku ingat Jason. Kukeluarkan handphone dari tasku. Ingin rasanya menulis sms dan bertanya kabarnya. Oh ya, kami sempat bertukar nomor handphone di perjalanan tadi.

“ Jason, mamamu gimana? –Vita-“

Tulisan yang singkat saja. Malu mengakui kalau diam-diam aku sudah memendam rasa. Terjebak di kemacetan, tak mengapa. Waktu rasanya berjalan cepat tak terhingga. Untung aku ketemuan sama Santi, kalau tidak lebih ‘memble’ lagi aku memikirkan dia.

Tak sampai sepuluh menit, jawaban dari Jason muncul.

“ Mama baik, Vit. Untungnya dia sampai tepat waktu ke RS, jadi masih bisa diselamatkan. ‘Thanks for asking’. Kamu gimana?”

Langsung ku-reply dan kuceritakan pengalamanku bertemu dengan Santi. Semua mengalir lancar, seolah bicara dengan teman lama yang akrab di hati. Tanpa terasa, ada lebih dari sepuluh sms bolak-balik kami malam itu. Hatiku yang sekian lama kosong dan hampa, terasa bahagia karena hadirnya. Aku suka dia. Mungkin terlalu pagi buat bicara cinta, tapi sungguh, aku betul-betul tak bisa mengeluarkannya dari pikiranku. Biarpun secara paksa!

Cinta. Cinta. Cinta.

Rona warnanya merah jambu, mengisi hatiku. Aku betul-betul merasakan inilah saatnya ketika aku siap, cinta yang saling menyambut-tak lagi bertepuk sebelah tangan-muncul di hadapanku. Tak pernah kusangka, kalau kejadian di antrian taksi bisa membawaku kepadanya. Jason tercinta. ‘ Thank God I found you, Jason!’

Hari-hari kami jadi penuh warna. Aku sering mengunjungi Mamanya yang kesepian. Dan Jason juga sering ke rumahku. Kloplah jadinya. Oh iya, kami masih sering ke Plaza Semanggi buat bernostalgia. Tak kupungkiri, aku tengah dimabuk asmara! :)

Sampai suatu ketika…

Aku sampai di rumah Jason di kawasan Jelambar, Jakarta Barat. Kudapati seorang perempuan cantik sedang duduk bersama mamanya Jason. Tumben, tak biasanya ada tamu. Biasa rumah ini selalu sepi saja. Mama Jason agak terperanjat melihatku, seolah tak terlalu mengharapkan kedatanganku. Hal yang tak pernah terjadi sebelum ini.

“ Vit, kenalkan, ini Susi teman Jason,” kata ibunya.

“ Vita,” aku mencoba tersenyum walau mungkin terlihat kaku.

“ Susi,” senyumnya manis, namun koq aku merasa dia menyembunyikan sesuatu, ya?

“ Bu, Susi pulang dulu. Lain kali Susi mampir lagi,” Ujarnya kepada Mama Jason.

“ Baik, Sus, hati-hati di jalan,” kata Mama Jason.

Bayangan Susi beranjak pergi, meninggalkan kami berdua. Mama Jason tak mampu menahan tangisnya kali ini. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya, karena dia biasanya terlihat tegar.

“ Kenapa, Tante?” tanyaku singkat.

“ Susi itu dulu tunangannya Jason. Dia pergi mendadak, tanpa pesan. Katanya ke luar negeri. Tak tahunya tadi dia cerita, kalau dia pergi karena hamil. Dia hamil anaknya Jason, Vit! Jadi, Tante sudah punya cucu dan cucu Tante itu ada di Surabaya. Tadi dia cerita sama Tante.” Masih dengan air mata yang berderai karena haru.

Sedangkan aku? Tercengang dan kehabisan kata-kata. Aku sedih luar biasa. Kecewa. Memang Jason pernah cerita soal ini sebelumnya, soal Susi maksudku. Tetapi, tanpa embel-embel kehamilan plus anak sebagai paket dari hubungan mereka. Kuusahakan hatiku tenang, kumatikan rasa sedihku sementara waktu. Karena rasanya tak etis juga menangis di depan Tante. Kuputuskan pulang lebih cepat. Di taksi sepanjang perjalanan sampai rumahku, aku menangis pelan. Malu terlihat tukang taksi. Tak kutunggu lagi Jason seperti biasanya kalau aku ke rumahnya. Aku pulang. Tak sudi aku melihat kebohongannya. Dan apa dia memang selalu memerhatikan diriku? Aku sungguh tak tahu. Aku jadi ragu dengan seluruh kenyataan yang terjadi di hadapanku. Tak tahu harus percaya yang mana atau percaya pada siapa.

Hari-hari tanpa Jason.

Keputusan sepihak dariku menghindarinya dan tak mau lagi bertemu dengannya, membuahkan sakit hati yang luar biasa. Kupikir itu yang terbaik buat kami saat ini. Aku terlalu kecewa. Biar Jason selesaikan urusannya dengan Susi, biarpun itu berarti dia harus menikahi Susi dan memutuskan tali kasih kami. ‘Thank God I found you???’ Atau malah ‘OMG ( Oh My God), why I met you???’

Aku berjalan pelan memasuki rumahku. Di depan pintu, sudah ada Willem lengkap dengan keluarganya. Entah ada apa pula Si Willem ini. Setelah semua perseteruan keluarga kami yang membuat kami berpisah, mengapa dia datang lengkap dengan seluruh pasukannya?

“ Mereka hendak melamarmu, Vit,” bisik ibuku pelan ketika aku mengaduk minuman di dapur buat para tamu yang berjumlah empat orang itu. Papa-Mama, Willem, dan adiknya.

“Gila, Ma! Kami udah putus lama sekali. ‘Koq’ sekali datang langsung melamar. Yang bener aja?” Jawabku takjub.

“ Udahlah, Vit. Mumpung ada yang mau. Lagian kalian sudah tak muda lagi. Dia sudah 40 tahun bulan Mei ini.” Mama mendesakku lagi.

“ Ma, koq Mama lupa permusuhan Mama dengan Oom dan Tante, cuma gara-gara mereka melamarku hari ini? Mama mau berbesanan dengan musuh bebuyutan Mama sendiri?” tanyaku tegas.

“ Kalau memang tak ada jalan lain? ‘Why not?’ Sementara Jasonmu juga pergi entah ke mana, ‘kan?” Tanya Mama lagi.

Wah, Mama…!
’Koq’ Mama agak keterlaluan kali ini. Sakit banget hatiku ini. Apa Mama tahu?

Kuhapus air mataku yang mulai pelan menetes di pipiku. Ah, Jason…. Kalau kau yang datang hari ini, pasti aku akan bahagia. Namun kisah kita sudah terlanjur ‘complicated’ tak tentu arah. Kau dengan Susi dan bayi kalian. Willem dan keluarganya.

Ahhh, aku berlari keluar rumah. Meninggalkan Willem dan keluarganya yang bingung. Meninggalkan Mama yang menangis. Biar aku sendiri dulu. Aku sudah hampir gila…

Plaza Semanggi lagi. Tempat kopi andalan kami lagi.

‘Iced Cappuccino’ lagi. Yang berbeda adalah: tanpa Jason lagi.

Kuhirup minumanku pelan. Aku sangat sedih saat ini. Semua seolah betul-betul kebalikan dengan impianku. Ya Tuhan, kalau memang Tuhan mau aku melajang untuk seterusnya, aku rela. Tetapi jangan ombang-ambingkan aku begini caranya, dong!
Aku kesal dan marah pada kenyataan. Memang pahit. Aku mau bilang apa?

Tiba-tiba kurasakan sentuhan ringan di bahuku.

“ Vit, kamu di sini?” Suara Jason membelah suasana sepiku.

Aku tak menjawab, hanya menganggukkan kepala.

“ Iya, Jason. Kamu koq di sini?” Tanyaku pelan.

“ Mamamu yang bilang kamu pergi dari rumah. Dan aku pikir, kamu biasanya ke sini ketika kamu stress dan bingung.” Jawabnya pelan sambil terus menatap wajahku.

Aku melihat kasih dan ketulusan di sana. Wajahnya tambah kurus.

“ Aku pusing, Jason. Pusing sama kondisi hidup ini. Bingung dengan ini semua. Bingung dengan Susi dan kamu. Bingung dengan Willem…” Ucapku beruntun.

Namun ucapanku terhenti ketika Jason mengulurkan telunjuknya ke arah bibirku untuk menghentikan ocehanku.

“ Susi sudah pergi.” Ujarnya tegas.

“ Pergi? Pergi ke mana? Bayi kalian bagaimana?” tanyaku.

“ Dia berbohong pada Mama, Vit. Dan kau tak pernah berikan aku kesempatan untuk menjelaskannya padamu. Dia hanya mau kembali padaku dan mempergunakan cara ini. Akhirnya, aku menjelaskannya pada Mama. Bagaimana mungkin dia bisa hamil, karena kusentuh pun tak pernah?” Jelasnya lagi.

“ Hah, benarkah? Sungguhkah?” Aku mengucek kedua belah mataku. Tak percaya.

“ Iya, Sayang…” Jason mengusap rambutku lembut dan memelukku.

“ Kita menikah saja. Aku lamar kamu. Ini beneran.” Ucapnya serius.

“ Oh, ya? “ Tatapku tak percaya.

“ So, will you…?” tanyanya lagi.

Masih tak percaya dengan kenyataan yang seolah seperti membalikkan telapak tangan ini. Berubah amat cepat!

“ Yes, I do!” Senyumku riang.

Kali ini, tak banyak bicara, aku memanjatkan syukur dalam hati. ‘Really, thank God I found you. Thank God for sending you to my life. Bringing sunlight into my life. My Jason:)’

HCMC, 15 April 2010

-fon-

* inspirasi dari lagu: ‘Thank God I found you’ – ‘Mariah Carey and friends’

Sumber gambar:

http://images.buycostumes.com/mgen/merchandiser/36095.jpg

Sumber gambar:

http://images.buycostumes.com/mgen/merchandiser/36095.jpg

No comments:

Post a Comment